Quantcast
Channel: Themes | DestinAsian Indonesia
Viewing all 1032 articles
Browse latest View live

10 Acara Seru Bulan Ini

$
0
0
Brisbane Festival kerap menampilkan beragam acara menarik, mulai dari konser musik, pentas teater, juga pertunjukan opera.

Brisbane Festival
Jadwal: 5-28 September 2019
Lokasi: Brisbane, Australia
Saban September, festival ini mengubah kota Brisbane menjadi panggung kreatif berisi beragam acara, mulai dari teater, konser, pameran seni, balet, lawak, hingga pentas cahaya ikonis bertajuk River Of Light. Bermula pada 1996 dalam format bienial, Brisbane Festival berubah jadi ajang tahunan sejak 2009. brisbanefestival.com.au

Salah satu faktor yang membuat Maybank Bali Marathon menarik adalah suasana alam Gianyar yang menyenangkan di sepanjang rute. (Foto: Windhu Eka)

Maybank Bali Marathon
Jadwal: 8 September 2019
Lokasi: Gianyar & Klungkung, Bali
Road trip di Bali memang menyenangkan. Lewat MBM, Anda bisa mengarungi pulau ini dengan cara yang lebih sehat, bersama ribuan orang. Ajang yang dirintis pada 2012 ini menawarkan tiga kategori jarak: Marathon (42,195 kilometer), Half Marathon (21,1 kilometer), serta 10K. Rutenya mencakup kawasan perbukitan dan pesisir di dua kabupaten: Gianyar dan Klungkung. balimarathon.com

Tampak seorang pengunjung yang sedang asyik menikmati beragam karya di Photoville.

Photoville
Jadwal: 12-22 September 2019
Lokasi: New York
, Amerika Serikat
Rampung pergelaran di Los Angeles pada April silam, Photoville bergeser ke New York. Seperti episode sebelumnya, festival foto ini akan menampilkan beragam acara di puluhan peti kemas yang disebar di kaki Brooklyn Bridge. Bintang tamu tahun ini antara lain Phil Penman, Jamel Shabazz, dan Joe Rodriguez. photoville.com

Pengunjung dapat mencicipi berloyang-loyang pizza di Napoli Pizza Village.

Napoli Pizza Village
Jadwal: 13-22 September 2019
Lokasi: Napoli, Italia
Ada sejumlah teori tentang riwayat piza, tapi Napoli dipercaya sebagai tanah kelahiran piza versi modern seperti yang kita kenal sekarang. Teknik memasak piza khas kota ini bahkan sudah ditetapkan sebagai Intangible Heritage oleh UNESCO. Merayakan tradisi itu, Napoli menanggap festival tahunan yang berisi antara lain lokakarya, seminar, serta kontes dan pesta makan piza. Tahun lalu, ajang ini menghidangkan 122.000 loyang piza dengan jumlah pengunjung menembus satu juta jiwa. pizzavillage.it

Salah satu instalasi menarik yang hadir di London Design Festival.

London Design Festival
Jadwal: 14-22 September 2019
Lokasi: London, Inggris
Berambisi menjadikan London ibu kota desain dunia, Sir John Sorrell dan Ben Evans pada 2003 merintis ajang yang merayakan kreativitas desainer, menghadirkan karya yang merefleksikan isu kontemporer, serta menggelar dialog bersama publik. Beberapa figur kondang yang pernah dikomisi antara lain Zaha Hadid, Tom Dixon, John Pawson, dan Alison Brooks. Jika ingin berbelanja benda berdesain atraktif, tersedia ajang pendamping London Design Fair dari 19-22 September. londondesignfestival.com

Istanbul Biennial tahun ini menghadirkan tema The Seventh Continent.

Istanbul Biennial
Jadwal: 14 September-10 November 2019
Lokasi: Istanbul, Turki
Untuk jilid ke-16, Istanbul Biennial mengusung tema The Seventh Continent dengan niat mengulas bencana sampah yang menggerogoti Samudra Pasifik. Kurator tahun ini, Nicolas Bourriaud, telah memilih 55 artis untuk merespons tema tersebut. Selain pameran, Istanbul Biennial menghadirkan serangkaian diskusi dengan pakar lintas disiplin, termasuk antropolog, pengamat politik, serta peneliti lingkungan. bienal.iksv.org

Formula 1 Singapore GP jadi salah satu balapan yang paling ditunggu saban tahun. (Foto: Steven Tee)

Formula 1 Singapore GP
Jadwal: 20-22 September 2019
Lokasi: Marina Bay, Singapura
Hamilton, Verstappen, dan Vettel akan beradu cepat di Marina Bay Street Circuit yang membentang sepanjang 5,063 kilometer. Tapi suguhan di luar lintasan balap tak kalah menarik: pentas musik yang menampilkan antara lain Swedish House Mafia, Muse, Red Hot Chili Peppers, Gwen Stefani, serta Fatboy Slim. singaporegp.sg

Hadir pada 1961, World Festival of Puppet Theatres menjadi salah satu festival boneka paling senior.

World Festival of Puppet Theatres
Jadwal: 20-29 September 2019
Lokasi:
Charleville-Mézières, Prancis
Nama aslinya Festival Mondial des Théâtres de Marionnettes. Dicetuskan pada 1961, ajang bienial ini merupakan salah satu festival boneka paling senior di dunia. Dalam episode terakhirnya, World Festival of Puppet Theatres menyajikan sekitar 200 pertunjukan oleh 250 grup asal lima benua. festival-marionnette.com

Rugby World Cup bakal digelar di Jepang hingga awal November 2019. (Foto: Matt Dunham)

Rugby World Cup
Jadwal: 20 September-2 November 2019
Lokasi:
Jepang
Rugby makin populer di Asia, termasuk di negara-negara yang tak pernah dikuasai Inggris. (Indonesia kini memiliki lebih dari 20 klub rugby). Dan tahun ini, rugby akan menemukan momentumnya untuk kian bersinar di Asia saat Jepang menggelar Rugby World Cup. Laga pembukanya, Jepang versus Rusia, akan dilangsungkan di Tokyo Stadium, sementara partai final di Yokohama Stadium. rugbyworldcup.com

Ribuan orang yang memenuhi lokasi tempat diselenggarakannya Rock in Rio.

Rock in Rio
Jadwal: 27-29 September & 3-6 Oktober 2019
Lokasi: Rio de Janeiro, Brasil
Dalam kasta konser musik cadas, Rock in Rio punya reputasi yang sangat dihormati berkat kemampuannya mendatangkan bintang besar lintas generasi. Tahun ini akan hadir antara lain Imagine Dragons, Weezer, Bon Jovi, Foo Fighters, Dave Matthews Band, Iron Maiden, Scorpions, serta Sepultura. Melebarkan segmennya, panitia mengundang pula bintang dari luar kutub rok, contohnya Drake, Ellie Goulding, serta Black Eyed Peas. rockinrio.com


Sensasi Baru Pesta Seni Jakarta 

$
0
0

Menempati Exhibition Hall A dan B, Art Jakarta memiliki ruang yang lebih lapang untuk karya berdimensi besar dan presentasi yang lebih eksperimental. Di balik pintu masuknya misalnya, tergantung karya sulam setinggi hampir lima meter buatan Eko Nugroho. Tak jauh dari sini, Isha Hening mengajak tamu menapaki rute setapak zigzag yang memutar video interaktif. Memasuki stan Yavuz Gallery, kita akan merasakan sensasi ditelan karya: menembus mulut patung anjing gigantik kreasi Ronald Ventura. “Ruangannya tidak terasa sesak. Orang lebih enak bergerak dan melihat karya,” jelas perupa asal Bandung, Zico Albaiquni, yang menghadirkan dua karya anyar untuk Art Jakarta.

Bagi pengunjung, JCC juga memberi kenikmatan visual yang berbeda dalam menikmati bursa seni. Berbeda dari lokasi sebelumnya, ballroom hotel, JCC menawarkan langit-langit yang lebih tinggi dan area yang lebih mudah dimodifikasi. “Bursa seni memang harusnya seperti ini,” jelas seniman senior FX Harsono, yang hadir di hari pembukaan. “Area pamernya lebih lapang. Jarak antar-stan lebih lebar. Orang lebih nyaman menikmati karya.” Nina Hidayat, staf komunikasi Museum Macan, menilai desain polos aula juga berkontribusi menghadirkan kenyamanan. “Lantainya polos, bukan lantai karpet bermotif yang mengganggu mata seperti di hotel.”

Instalasi karya I Nyoman Nuarta yang hadir di Art Jakarta 2019.

Art Jakarta episode ke-11 berlangsung dari 30 Agustus-1 September 2019. Di bawah direktur artistik baru Enin Supriyanto, ajang anual ini menyuguhkan kreativitas segar dalam hal variasi dan desain acara. Selain bursa yang melibatkan lebih dari 70 galeri, Art Jakarta menanggap program amal, diskusi, serta kelas seni yang diasuh oleh Eko Nugroho, Agan Harahap, serta HEI Schools. Juga menarik, kemeriahan kini tumpah hingga ke luar ruang pamer. Jakarta Art Week, ajang pendamping Art Jakarta, memajang karya buatan 10 artis perempuan di halte bus dan stasiun MRT di Jalan Jenderal Sudirman.

Baca juga: Artjog Rasa Baru; Pameran Tunggal Pertama Xu Bing di Asia Tenggara

Karya teamLab yang berjudul Dark Waves.

Selain gedung dan rasa baru itu, satu yang tak berubah dari Art Jakarta ialah kemampuannya menghadirkan keragaman karya seniman Indonesia dari beragam masa, mulai dari maestro almarhum Raden Saleh hingga generasi kontemporer semacam Heri Dono. Mereka yang rajin melawat Art Jakarta mungkin sudah berulang kali melihat karya blockbuster serupa. Tapi, dengan penelusuran yang cermat, kita sebenarnya bisa berkenalan dengan nama-nama segar, seperti Jumaadi yang berbasis di Sydney, atau Albert Yonathan yang bermukim di Kyoto.

DestinAsian Indonesia merupakan mitra media resmi Art Jakarta.—CR 

10 Kota Paling Layak Huni 2019

$
0
0

Lembaga survei global Economist Intelligence Unit kembali mengungkap juara atas riset mengenai kota yang paling layak huni di dunia. Tahun ini juara ajang survei tahunan tersebut kembali disabet oleh Wina. Ini merupakan tahun kedua Ibu Kota Austria tersebut memenangkan penghargaan bergengsi itu. Sebelumnya posisi tersebut dihuni tujuh tahun berturut-turut oleh kota Melbourne, Australia.

Survei yang dilakukan pada 140 kota tersebut didasarkan pada lima kategori utama yaitu stabilitas, layanan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, serta infrastruktur. Dan sejak dua tahun belakangan, Wina berhasil menawarkan gabungan dari kelima kategori tersebut, sehingga bisa mendapatkan skor total hingga 99,1%. Pihak EIU juga menyebutkan bahwa tingkat kriminalitas di Wina cukup rendah, sehingga menjadi alasan utama mengalahkan kota-kota lain.

Australia dan Kanada mendominasi daftar 10 besar. Melbourne, Sydney, dan Adelaide dinilai memiliki kualitas hidup terbaik di belahan selatan bumi, sedangkan Calgary, Vancouver, dan Toronto menjadi pilihan layak huni di bagian utara bumi. Sementara, kota besar seperti London dan New York hanya menempati posisi 48 dan 58. Hong Kong bercokol di urutan 38 sedangkan Singapura di peringkat 40.

Baca juga: 10 Kota Teraman di Dunia; 10 Kota dengan Biaya Transportasi Publik Termahal

Posisi terbawah diduduki Dhaka, Lagos, dan Damaskus. Ibu Kota Suriah yang dilanda perang ini mempertahankan posisi terakhir selama tujuh tahun terakhir. Berikut daftar 10 kota paling layak huni:

  1. Wina, Austria
  2. Melbourne, Australia
  3. Sydney, Australia
  4. Osaka, Jepang
  5. Calgary, Kanada
  6. Vancouver, Kanada
  7. Toronto, Kanada
  8. Tokyo, Jepang
  9. Kopenhagen, Denmark
  10. Adelaide, Australia

Informasi selengkapnya, kunjungi Economist Intelligence Unit.

Patuh di Rumah, Jantan di Hutan

$
0
0

Awalnya ditujukan untuk melindungi lahan pertanian dari serangan hama, buru babi bergeser jadi hobi massal yang melebur sekat sosial. Setidaknya dua kali per pekan, kaum pria dari beragam nagari di Sumatera Barat merangsek hutan dengan membawa anjing-anjing pelacak untuk berburu babi liar.

Tradisi buru babi menyebar di banyak tempat di Ranah Minang. Untuk proyek fotonya, Yoppy Pieter memotret di Bukittinggi, Dharmasraya, dan Sawahlunto. Bersama para pemburu, dia mengarungi rawa berlumpur dan menembus hutan—sebuah dokumentasi yang sarat bahaya. Selain harimau, ancaman dihadirkan oleh target buruan. Babi yang terluka lazimnya menyerang serampangan—amuk brutal yang dikenal dengan istilah “membabi buta” di kalangan pemburu.

Buru babi tidaklah bermotif ekonomi. Buruan yang tewas atau sekarat tidak dijual, melainkan ditelantarkan, kadang diangkut oleh warga Suku Anak Dalam. Tapi kegiatan ini melibatkan uang besar. Di baliknya bergerak bisnis pelatihan dan jual-beli anjing. “Satu ekor anjing terlatih bisa dihargai satu mobil SUV lewat transaksi di hutan atau tepi sawah,” jelas Yoppy.

Buru babi kadang juga menjelma jadi kegiatan akbar yang terorganisasi. Dalam ajang perburuan besar Baburu Baralek misalnya, pesertanya bisa menembus 3.000 orang. Bahkan telah ada organisasi Persatuan Olahraga Buru Babi yang menaungi ratusan orang. Mereka memiliki jadwal berburu yang rapi. Di grup Facebook, para anggotanya giat berdagang anjing dan parang.

Sebagian orang percaya buru babi berakar dari adat yang eksis sebelum masuknya Islam ke Sumbar. Tapi klaim ini runtuh lantaran perburuan terbukti tidak melibatkan perempuan sebagai aktor utama adat. Di sisi lain, gerakan pemurnian Islam oleh kaum Padri juga tidak melarangnya. Satu tesis yang paling meyakinkan ialah buru babi merupakan bagian dari negosiasi kaum pria di tengah dominasi adat matrilineal—dan inilah yang menjadi narasi proyek foto Yoppy. “Buru babi,” jelasnya, “telah bertransformasi jadi medium politik identitas bagi pria untuk menegaskan maskulinitas mereka.”—CR

Proyek foto ini dipilih lewat proses seleksi oleh editor tamu Beawiharta dan telah diterbitkan dalam DestinAsian Indonesia edisi Juli-September 2019.

01 04 05

Yoppy Pieter
Buku foto pertamanya, Saujana Sumpu, memperlihatkan dampak urbanisasi di Sumatera Barat. Pada 2017, Yoppy, salah seorang pendiri Arka Project, terpilih untuk mengikuti 6×6 Global Talent Program garapan World Press Photo. Tahun ini, atas pilihan lembaga yang sama, dia menjadi orang Indonesia pertama yang berpartisipasi dalam Joop Swart Masterclass. yoppycture.com.

3 Amenity Kit Paling Ramah Lingkungan

$
0
0

Dalam beberapa waktu belakangan ini, kompetisi merawat alam tampak kian sengit. Ada banyak inisiatif ramah lingkungan yang telah dilakukan oleh sejumlah maskapai dunia. Mulai dari mereduksi bahan plastik untuk katering, membeli armada yang lebih hemat avtur, menerapkan sistem 3RC (Reduce, Reuse, Recycle and Compost), melakukan carbon offset, hingga meluncurkan amenity kit ramah lingkungan. untuk yang terkahir, sedikitnya sudah ada tiga maskapai yang menerapkannya.

Desain Windsor Amenity Kit Lufthansa untuk kabin kelas utama.

Lufthansa
Sejak awal 2018 silam, Lufthansa telah meluncurkan amenity kit yang lebih ramah lingkungan bagi penumpang kelas utama, bisnis, dan ekonomi premium mereka. Ketiga amenity kit tersebut didesain agar bisa digunakan kembali sebagai pouch, tas belanja, atau tempat alat mandi.

Untuk kelas utama, maskapai asal Jerman tersebut menggandeng Skysupply dalam merancang pouch Windsor Amenity Kit yang elegan. Mengantongi produk eksklusif dari La Prairie, amenitas yang hadir dengan dua desain tersebut dilengkapi dengan tali panjang sehingga bisa berfungsi sebagai clutch. Sedangkan amenity kit untuk kelas bisnis hadir dengan tiga varian. Reisenthel amenity kit rancangan Spiriant yang dilengkapi dengan produk L’Occitane ini juga dapat digunakan sebagai tempat kosmetik bahkan tas belanja.

Pada ekonomi premium, Lufthansa menyediakan amenitas dengan tema “Around the World” yang hadir dengan lima motif berbeda, yakni Eiffel Tower, Brandenburg Gate, Frankfurt Skyline, Statue of Liberty, dan Golden Gate Bridge. Semuanya dapat digunakan kembali menjadi tempat toiletries. lufthansa.com

Amenity kit Qatar Airways untuk penumpang pria.

Qatar Airways
Setelah Lufthansa, kali ini giliran Qatar Airways yang awal tahun ini resmi menghadirkan pouch yang dapat digunakan kembali untuk penumpang kelas bisnis dan kelas utama. Untuk amenity kit mereka, maskapai asal Doha tersebut kembali menggandeng desainer koper Bric’s serta produk perawatan kulit asal Italia, Castello Monte Vibiano Vecchio.  Kedua desain itu hadir dengan empat pilihan warna: hitam dan kuning untuk pria serta hitam dan merah untuk wanita.

Untuk penumpang wanita, Bric’s menghadirkan desain yang dilengkapi dengan tali panjang sehingga bisa berfungsi sebagai clutch. Sementara untuk pria, hadir dengan desain lebih simpel yang dapat digunakan kembali sebagai wash bag untuk menyimpan beragam perlengkapan pribadi. Untuk isinya, Qatar Airways memberikan produk-produk perawatan kulit, seperti lip balm, hydrating facial mist, dan krim anti-penuaan untuk kabin kelas bisnis. Sedangkan kabin kelas utama ada tambahan krim malam. Ada juga amenity standar yang disertakan di dalamnya seperti kaus kaki, penutup mata, penyumbat telinga, dan sisir. Amenity kit ini hadir di seluruh penerbangan jarak jauh. qatarairways.com

Desain unik Premium Kits untuk kelas ekonomi premium milik Virgin Atlantic.

Virgin Atlantic
Berbeda dengan dua pendahulunya, Virgin Atlantic bisa dibilang memiliki amenity kit yang paling ramah lingkungan. Pasalnya, untuk armada A350-1000 mereka, maskapai asal Australia ini telah menyiapkan amenitas Upper Class dan Premium Kits.

Untuk Upper Class, goodie bags ini terdiri dari sikat gigi bambu dari @Bambuubrush, pulpen, penyumbat telinga, lip balm, krim tangan dan pelembap wajah dari REN, kaus kaki, serta penutup mata. Sedangkan Premium Kits terdiri dari penutup mata, pulpen, dan sikat gigi bambu yang dikemas dalam tas berbentuk map kertas cokelat.

Pihak Virgin Atlantic menyebutkan bahwa mereka hanya menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh penumpang. Selain itu, mereka juga menggunakan kertas daur ulang guna meminimalisir penggunaan plastik sekali pakai. Diharapkan dengan kebijakan ini, mereka bisa mengurangi hingga 945 ton sampah plastik per tahun. virginatlantic.com

Intervensi Berbekal Empati

$
0
0
(Foto: Yoppy Pieter)

Oleh Lucia Dianawuri

Kamera adalah medium yang penuh risiko. Ia bisa membentuk realitas, dan pada beberapa kesempatan bisa mengusik kenyataan orang lain. “To photograph people is to violate them,” tulis Susan Sontag dalam On Photography. Ketika kita memotret orang lain, bisa jadi kita mengganggu mereka atau melanggar batas-batas privasi mereka.

Memotret juga berpotensi mengubah subjek yang kita foto menjadi objek, dan secara simbolik apa yang kita potret itu menjadi milik kita. “It turns people into objects that can be symbolically possessed,” tulis Sontag lagi. Yang kita potret itu membeku, dan tersimpan dalam kamera kita.

Di masa awal ketika kamera masuk Nusantara, muncul duet Walter Woodbury dan James Page yang membekukan wajah Nusantara. Lewat foto-foto mereka, imaji “bumi rempah” merambah Eropa dan belahan dunia lain. Kasus serupa terjadi pada Kassian Cephas, fotografer pertama dari kalangan pribumi, yang mendokumentasikan Yogyakarta.

Lewat mereka, Mooi Indie pun menjangkiti dunia. Wajah-wajah eksotis “Timur Jauh” tertempel pada ruang-ruang imaji. Gambaran tentang perempuan berkulit sawo matang dengan payudara ranum tak terbungkus, juga sawah nan hijau yang terhampar luas, semua itu menghiasi bayang-bayang Eropa tentang Nusantara. Mooi Indie menjadi begitu indah dan berjarak. Selalu menarik untuk dipandang, dikunjungi, tanpa benar-benar terlibat, masuk ke jelaganya.

Semua bangsa-bangsa poskolonial pasti memahami hal itu. Kita punya imaji-imaji yang menubuh dalam kesadaran tentang apa yang dianggap elok. Ini gejala umum, di mana “yang berbeda” akan dipandang sebagai objek yang menarik untuk dilihat, lalu diabadikan. “Yang berbeda” dan menarik untuk divisualkan itulah yang disebut “eksotis.” Kita pun acap kali tanpa disadari turut merayakannya.

Kebanyakan dari kita, jika mendengar kata Asia, maka yang terlintas adalah benua penuh bumbu, Dunia Ketiga yang penuh warna. Dan jika mendengar Eropa, yang terlintas adalah peradaban maju dan modernitas. Pada masing-masing ruang menempel stereotip. Ketika salah satu pihak memegang kamera, maka gambar yang akan tercipta adalah gambar yang sesuai dengan imaji si pemegang kamera. Gambar-gambar itulah yang akan menjadi realitas.

Tentu, tidak ada yang benar-benar salah dengan realitas semacam itu. Apalagi itu sudah menjadi kewajaran. Namun, sebelum kembali mereproduksi realitas semacam itu, ada baiknya kita berpikir kritis dan memahami konteks ruang. Contohnya saat kita berkunjung ke rumah orang lain, tentu sebaiknya kita mengikuti aturan rumah itu, misalnya dengan melepas sepatu. Jika kita mengabaikan aturan, tentu laku itu boleh disebut tidak etis. Selanjutnya, jika kita berempati dengan si pemilik rumah, tentu sebelum bertandang kita akan mencari tahu konteks ruang yang kita kunjungi, sehingga mengurangi risiko merasa tidak enak dengan si pemilik rumah. Hal serupa berlaku ketika memotret. Berbekal empati terhadap apa yang kita foto, serta pengetahuan atas konteks yang difoto, maka kita akan meminimalisasi risiko.

Baca juga: Sebelum & Sesudah Cetak; Pelajaran dari Perpignan

Sekali lagi, memotret berarti mengintervensi ruang yang dipotret. Kita masuk ke ruang personal subjek. Ini yang dimaklumi oleh fotografer senior Don Hasman saat mengatakan, “untuk memotret diperlukan etika. Sebagai tamu kita juga harus punya tujuan yang baik, dan menjelaskan dengan jujur mengenai tujuan datang ke daerah mereka.” Yang paling penting, kita harus tahu bahwa tidak semua orang, atau semesta lain, bisa menerima bahwa apa yang kita anggap kebenaran, berarti kebenaran bagi mereka juga.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2019 (“Intervensi Berbekal Empati”).

Lucia Dianawuri
Sempat menjadi wartawan LKBN Antara, penulis, dan editor lepas untuk beberapa penerbit, Lucia kini bekerja sebagai editor insist Press. luciadianawuri.blogspot.com

Alasan Baru Berkunjung ke Macao

$
0
0
Rua da Felicidade, sentra wisata di bekas daerah red light district.

Oleh Karina Anandya
Foto oleh Fransisca Angela

Jejak peninggalan Portugis bertaburan di Asia, tapi Macao mungkin salah satu tempat terbaik untuk melihatnya. Wilayah otonomi khusus di pesisir selatan Tiongkok ini tekun merawat bangunan dan situs warisan masa lalunya. Ke mana pun kita melangkah, ada banyak petilasan yang memanggil sejarah dan membangkitkan nostalgia.

Di bawah gerimis, saya menyusuri Senado Square, jejak Portugis yang sangat tersohor di Macao. Alun-alun beralaskan mosaik ini ditaburi begitu banyak gedung historis, contohnya Leal Senado, Post Office, dan Holy House of Mercy. Yang terakhir ini bekas panti asuhan yang dialihfungsikan menjadi museum.

Senado Square, atau San Ma Lo menurut bahasa lokal, jugalah ruang publik kebanggaan warga Macao. Tempat ini senantiasa hidup; sebuah ruang komunal yang bernyawa. Di antara bangunan uzur, kita bisa menemukan antara lain kios suvenir, aneka jajanan, serta gerai kosmetik. Pentas musik kadang digelar di tengah alun-alun. Saat saya datang, langit-langit Senado dimeriahkan oleh lampion.

Senado Square, alun-alun beralaskan mosaik yang ditaburi begitu banyak gedung historis,

Meninggalkan gedung-gedung bernuansa neo-klasik di Senado, saya menyambangi St. Dominic’s Church yang menjulang anggun dengan tubuh bergaya barok. Rumah ibadah bertarikh 1587 ini menampung banyak artefak sakral. Satu fakta unik yang jarang diketahui, St. Dominic’s Church sebenarnya tak cuma punya tempat khusus dalam babad penyebaran agama Katolik, tapi juga sejarah media massa. Di sinilah surat kabar berbahasa Portugis pertama diterbitkan di Tiongkok.

Tak jauh dari St. Dominic’s Church, sebuah gereja lain memukau dengan caranya yang janggal: keindahan di balik kehancuran. Ruins of St. Paul’s, situs bertitimangsa 1640, telah menyabet status ikon di Macao. Tubuhnya memang tak lagi utuh, tapi karismanya terus terpancar. Bisa dibilang ini merupakan reruntuhan yang paling populer di Macao, barangkali juga yang paling laris difoto.

Rintik hujan tak menyurutkan minat ribuan orang memadati tangga di muka Ruins of St. Paul’s. Mereka sibuk berfoto di hadapan fasad yang seolah pernah disembur Drogon ini. “Belum ke Macao kalau belum foto di depan Saint Paul,” jelas Elmer, pria asal Filipina yang mengantar saya keliling kota.

Walau usianya melintasi abad, gedung-gedung tua di Macao terpelihara keasliannya. Merawat mereka memang tak hanya penting atas alasan pariwisata, tapi juga peradaban. Macao, kawasan seukuran Blitar, menyimpan catatan penting tentang riwayat hubungan antara Barat dan Timur, juga benih-benih awal globalisasi. Itu pula sebabnya pada 2005 UNESCO mendaulat Historic Centre of Macao sebagai Situs Warisan Dunia.

Kiri-kanan: Sajian di Long Wa Teahouse, kedai teh yang populer di kalangan warga lokal; gerbang Kuil A-Ma, rumah ibadah tua yang menyimpan kisah asal-muasal nama Macao.

Saya melawat Macao pada akhir Mei 2019. Ini bukan pertama kalinya saya datang. Tapi momen kunjungan ini terasa lebih spesial karena dunia sedang mengenang 500 tahun ekspedisi Ferdinand Magellan mengelilingi bumi. Magellan, pria asal Portugal, waktu itu memang tidak menjangkau Tiongkok, tapi dia berjasa membuka jalan bagi pelayaran-pelayaran berikutnya ke sini. 

Mengintip sejarah, hubungan Portugis dan Tiongkok dirintis pada awal abad ke-16. Selain menjalin kerja sama di bidang perdagangan dan diplomatik, kedua kerajaan itu berkolaborasi memberantas kaum perompak. Kemitraan mereka kian mapan setelah Dinasti Ming memberikan izin pendirian kantor dagang permanen Portugis pada 1557 di Macao. Sejak itu, Portugis menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kota bandar ini.

Selain dalam wujud bangunan, akulturasi Portugis-Tiongkok berlangsung intim dalam aspek bahasa. Macao masih melestarikan Macanese Portuguese, dialek Portugis versi lokal. Lahir dari proses persinggungan budaya selama empat abad, dialek ini sekarang dipakai oleh sekitar satu persen populasi Macao.

Kiri-kanan: Salah satu instalasi Renaissance di Macao Museum of Art; seorang turis menaiki tangga menuju Guia Chapel.

Jejak Portugis lainnya terpatri dalam tradisi dapur. Banyak makanan yang lazim tersaji di rumah-rumah warga di Portugal bisa ditemukan di sini. Fakta itu jugalah yang membuat pengalaman kuliner di Macao terasa eklektik. Dalam sehari, kita bisa menikmati masakan autentik dari dua kutub yang terpisah 10.000 kilometer. Anda bisa sarapan congee, makan siang beef minchi, menikmati afternoon tea ditemani pastel de nata, lalu menghangatkan tubuh dengan sup caldo verde di malam harinya.

Walau belum jadi favorit di kalangan turis Indonesia, wine Portugis juga cukup populer di Macao. Vino Veritas, salah satu distributor wine Portugis terbesar di Asia, telah bercokol di sini sejak 1997. Kata sang pendiri, Tomás Pimenta, perusahaannya tak hanya menjual wine asal Madeira dan Porto, tapi juga memberikan kelas pengetahuan soal wine.

Baca juga: 48 Jam di Makau; Pentas Futuristik di Macao

Kiri-kanan: Ruins of st. Paul’s, objek wisata sejarah yang paling tersohor di Macao; salah satu seni mural yang ada di sudut Macao.

Jika ada bukti lain yang menjelaskan betapa tak terpisahkannya Portugis dari Macao, jawabannya ialah kata Macao itu sendiri. Salah satu sumber mengklaim kata “Macao” sebenarnya berasal dari “kekeliruan” pelafalan orang Portugis. Saya mendapati hikayat unik itu saat bertamu ke Kuil A-Ma. Alkisah, saat kali pertama datang ke area di dekat kuil ini, orang Portugis bertanya tentang nama lokasi yang mereka datangi. Mengira mereka bertanya tentang nama kuil, warga pun menjawab Maa-gok, pelafalan A-Ma dalam bahasa Kanton. “Orang Portugis tidak punya perbendaharaan kata ‘kok,’ sehingga mereka menyebutnya Macok, hingga akhirnya menjadi Macao hingga sekarang,” jelas pemandu saya.

Macao memang berbeda dari destinasi lain di mana warisan Portugis membeku jadi bangunan semata. Di sini, budaya Portugis terus hidup (dan dihidupkan) sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Berkat akulturasi yang harmonis antara kebudayaan Timur dan Barat itu, Macao menjadi salah satu destinasi wisata yang paling unik, juga paling laris, di dunia.

Mengutip data dari Macao Government Tourism Office, 35,8 juta turis berpelesir ke sini sepanjang 2018. Angka itu melonjak sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2018 pula, Macao bertengger di posisi kelima dalam daftar Top 100 City Destinations versi Euromonitor International, sebuah perusahaan riset yang berbasis di Inggris.

Khusus turis Indonesia, Macao diminati berkat kemudahannya untuk dikunjungi. Ada banyak operator tur dan biro perjalanan yang melayani trip ke sini. Bagi pengelana solo, penjelajahan ke Macao juga nyaman lantaran telah tersedia situs pariwisata berbahasa Indonesia.

Berlin Gelar Festival Selama Seminggu

$
0
0

Rayakan peringatan ke-30 Revolusi Damai dan Jatuhnya Tembok Berlin, Ibu Kota Jerman bakal gelar festival selama seminggu penuh, yakni pada 4 hingga 10 November 2019 mendatang.

Festival bernama The 30th Anniversary of the Peaceful Revolution – Fall of the Berlin Wall ini menyajikan 100 acara sekaligus yang berlokasi di tujuh lokasi, yakni Gethsemane Church, Alexanderplatz, Gerbang Brandenburg, Kurfürstendamm, Stasi Headquarters, Schlossplatz dan East Side Gallery.

Kisah sejarah tersebut akan diceritakan kembali menggunakan proyeksi video 3D berskala besar, animasi dan efek suara yang seolah membawa pengunjung kembali ke atmosfer 1989 dan 1990.

Selain itu, festival besar ini juga bakal menampilkan konser, pameran terbuka, workshops, pemutaran film, talkshow, tur ke lokasi bersejarah, dan proyek film. Penyanyi Patti Smith akan tampil bersama Tony Shanahan di Gereja Gethsemane, sementara Staatskapelle Berlin dan DJ WestBam bakal menggelar konser di Gerbang Brandenburg.

Baca juga: 48 Jam di Berlin; 3 Landmark Ikonis Berlin

Salah satu ekshibisi yang tak boleh dilewatkan adalah Skynet, instalasi karya Patrick Shearn of Poetic Kinetics yang dipasang di dekat Gerbang Brandenburg. Instalasi ini terdiri dari 30.000 tulisan tangan warga Berlin dan pengunjung yang berisi beragam pesan, keinginan, dan harapan mereka untuk masa depan atau ingatan mereka tentang masa lalu. Selain itu, nantinya pengunjung dapat mencoba aplikasi MauAR untuk melihat virtual reality Tembok Berlin sebelum dihancurkan

Informasi selengkapnya, kunjungi kulturprojekte.berlin.


6 Negara Bebas Visa Terbaru Untuk Turis WNI

$
0
0

Paspor Indonesia kian sakti. Pasalnya, sampai saat ini, Indonesia sudah mengantongi bebas visa dan visa on arrival atau e-visa dari 81 negara. Berikut kami kumpulkan enam negara bebas visa terbaru untuk turis WNI:

Qatar
Buntut dari pengisolasian Qatar oleh negara-negara tetangga dalam sebuah krisis diplomatik, tak membuatnya gentar. Demi merangsang usaha transportasi udara dan pariwisatanya, pada 9 Agustus 2017, calon tuan rumah Piala Dunia 2022 tersebut memperkenalkan program bebas visa masuk untuk warga dari 80 negara. Pemegang paspor Indonesia kini telah mendapatkan izin tinggal selama 30 hari di Qatar jika mendarat di Bandara Internasional Hamad. Ke-80 negara dipilih berdasarkan pertimbangan keamanan dan ekonomi atau daya beli masyarakat. Skema pembebasan visa tersebut diharapkan dapat menjadikan Qatar sebagai negara yang paling terbuka di kawasan Teluk.

Uzbekistan bisa jadi salah satu opsi destinasi wisata baru bagi turis WNI. (Foto: intellinews)

Uzbekistan
Beberapa waktu belakangan ini, beberapa agen perjalanan di Tanah Air kian gencar mempromosikan paket wisata ke Uzbekistan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan bebas visa bagi turis Indonesia yang resmi diberlakukan pada 10 Februari 2018 silam. Pelancong yang mendambakan tempat wisata baru tentu saja tidak tinggal diam, dan langsung berbondong-bondong berdatangan ke negara yang bersemayam di Asia Tengah tersebut. Kini wisatawan Indonesia bebas mengunjungi beberapa kota di Uzbekistan seperti Tashkent, Andijan, Bukhara, Samarkand, dan Shakhrisabz, selama kurang lebih 30 hari.

Sejak Juni 2018, Brasil meresmikan kebijakan untuk meloloskan wisatawan Indonesia dari visa. (Foto: Raphael Nogueira)

Brasil
Pada Juni 2018 silam, Brasil meresmikan kebijakan untuk meloloskan wisatawan Indonesia dari visa—yang berlaku selama kurang lebih 30 hari, Keistimewaan ini dapat menjadi opsi menarik bagi wisatawan yang mendambakan tempat wisata baru, seperti Rio de Janeiro dan São Paulo. Selain meningkatkan sektor pariwisata, fasilitas ini juga diharapkan dapat membuka akses pasar bagi produk-produk Indonesia di Amerika Latin, seperti ikan, kelapa sawit dan karet.

Baca juga: 6 Negara Bebas Visa dengan Periode Tinggal Terlama; Urus Visa Korea Lebih Mudah

Deadvlei Hiking Trail di Namibia. (Foto: Marcelo Novais)

Namibia
Sejak 21 Agustus 2018, Namibia ikut meloloskan pemegang paspor Indonesia—baik paspor diplomatik, dinas, dan biasa—dari visa. Hal ini menjadi bagian dari strategi negara yang menjadi destinasi bulan madu Pangeran Harry & Meghan tersebut untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan asing. Selain itu, kebijakan bebas visa yang berlaku selama 90 hari tersebut dapat menjadi opsi menarik bagi wisatawan yang ingin bertualang ke destinasi wisata baru, seperti melihat hewan liar di Taman Nasional Etosha, bertualang di gurun Sossusvlei, hingga berkemah di Swakopmund.

Kini turis WNI dapat berkunjung ke Saint Kitts and Nevis selama 90 hari tanpa visa. (Foto: World Atlas)

Saint Kitts and Nevis
Warga negara Indonesia kini dapat berkunjung tanpa visa ke negara Saint Christopher (St Kitts) dan Nevis sejak 1 Februari 2019 selama 90 hari. Keputusan ini diambil oleh pemerintah yang terletak di wilayah Karibia tersebut untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia di sektor pariwisata, pertanian dan kelautan, serta pendidikan.

Pemandangan dari atas Panama Rd, Arugam Bay di Sri Lanka. (Foto: Tomáš Malík)

Sri Lanka
Sejak 1 Agustus 2019, pemegang paspor hijau kini dapat bertandang ke Sri Lanka tanpa visa selama kurang lebih 30 hari. Langkah ini menjadi bagian dari upaya Sri Lanka untuk menghidupkan kembali sektor pariwisata, usai sekelompok militan melancarkan serangan bom pada 21 April 2019 silam di gereja dan hotel mewah. Peristiwa yang menorehkan luka dalam bagi Sri Lanka tersebut telah menewaskan lebih dari 250 orang, termasuk 42 warga negara asing. Menteri Pariwisata Sri Lanka, John Amaratunga berharap dengan adanya kebijakan visa gratis ini dapat menggenjot kunjungan wisatawan di negara tersebut. Selain itu, Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe juga telah memastikan bahwa negara mereka saat ini sudah aman bagi wisatawan.

4 Hotel Baru di Tiongkok

$
0
0
Kolam renang indoor Shangri-La Suzhou Yuanqu sepanjang 25 meter.

Lanskap hutan rimbun, beragam kuil, serta pengalaman budaya yang kental adalah magnet utama pariwisata di Tiongkok. Belum lagi kehadiran restoran-restoran ternama dengan menu menggugah yang menambah sibuk kota-kota di Negeri Tirai Bambu tersebut. Berikut empat hotel mewah di kota-kota Tiongkok, mulai dari Shenzhen, Suzhou, hingga Shanghai yang baru dibuka tahun ini.

Shangri-La Suzhou Yuanqu
Pelancong yang menuju ke Suzhou di Tiongkok kini punya opsi menginap baru. Awal Juni silam, jaringan hotel internasional yang berbasis di Hong Kong, Shangri-La, resmi membuka properti baru di kawasan ini. Memayungi 303 kamar, Shangri-La Suzhou Yuanqu bersemayam di dekat Danau Jinji di dalam distrik Suzhou Industrial Park, yang merupakan kawasan bisnis baru di kota tersebut.

Lokasinya terbilang strategis karena dekat dengan Suzhou International Expo Centre, serta Suzhou Culture and Arts Centre. Ini jelas merupakan keuntungan lebih bagi tamu yang datang untuk keperluan bisnis dan pelesir. Suzhou bisa dijangkau dalam waktu 30 menit menggunakan kereta cepat dari Shanghai. Kamarnya digadang-gadang sebagai salah satu yang terbesar di Suzhou dengan luas mulai 48 meter persegi hingga 240 meter persegi. Menariknya, kamar menawarkan pemandangan Danau Jinji dan pemandangan kota.

Hotel ini menawarkan tiga gerai F&B, yakni Café Hong yang buka sepanjang hari dan Shang Garden sebagai tempat makan yang menyediakan hidangan autentik Tiongkok. Para tamu juga dapat menikmati aneka koktail di Lounge Sip. Fasilitas lainnya mencakup pusat kebugaran 24 jam di lantai tujuh, dan kolam renang indoor sepanjang 25 meter, lengkap dengan Jacuzzi, sauna, ruang mandi uap, dan spa. Akomodasi tersebut juga menyediakan 10 ruang rapat, yang terdiri dari dua ballroom tanpa pilar—masing-masing 1.000 dan 384 meter persegi, tujuh ruang serbaguna dan boardroom. shangri-la.com

Interior kamar Park Hyatt Shenzhen yang kental dengan nuansa tradisional Tiongkok.

Park Hyatt Shenzhen
Jaringan hotel Hyatt kembali membawa merek Park Hyatt ke Tiongkok. Shenzhen yang mengantongi berbagai penginapan premium dipilih sebagai lokasinya. Berada di sebelah menara utama Ping An International Finance Center yang terletak di kawasan pusat bisnis Futian, Park Hyatt Shenzhen hanya lima menit berjalan kaki dari Shenzhen Convention and Exhibition Centre dan berbagai pusat perbelanjaan.

Hotel yang resmi beroperasi pada awal Agustus silam ini juga memiliki akses bawah tanah langsung ke jalur metro serta Stasiun Futian, yang menjadi stasiun utama jalur Guangzhou-Shenzhen-Hong Kong Express Rail Link yang sudah beroperasi sejak September tahun lalu.

Properti kedelapan Park Hyatt di Negeri Tirai Bambu ini menaungi 195 kamar dan suite berukuran mulai dari 48 hingga 299 meter persegi. Setiap kamar dilengkapi dengan jendela setinggi langit-langit yang mayoritas menyuguhkan pemandangan kota Shenzhen. Desain kamarnya menggabungkan desain kontemporer klasik dengan karya seni lokal dan tradisional. Hal tersebut bisa dilihat dari karya seni, lampu gantung lentera, dan mini bar yang menyerupai kabinet khas Tiongkok yang tersebar di setiap kamar.

Fasilitas lainnya juga cukup impresif. Park Hyatt Shenzhen mengantongi empat gerai makanan dan minuman, kolam renang sepanjang 25 meter, dan fasilitas spa lengkap dengan pusat kebugaran. Mengawinkan konsep pelesir dan bisnis, Park Hyatt Shenzhen juga dilengkapi dengan fasilitas MICE berupa sembilan ruang rapat dan konvensi bergaya residensial dengan total luas mencapai 1.500 meter persegi. hyatt.com

Jakarta Gelar Festival Boba Pertama

$
0
0

Boba atau bubble tea kian digemari, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Kepopuleran minuman asal Taiwan tersebut tak hanya bisa dinikmati di kota-kota besar namun sudah menjangkau pelosok–termasuk di Indonesia. Bahkan, saking populernya, banyak orang yang rela antre berjam-jam guna sekadar menikmati segelas campuran teh, susu, gula, dan butiran tapioka tersebut.

Paham akan tren tersebut, pada 25-29 September 2019 mendatang, Gandaria City Mall bakal memanjakan para pencinta boba dengan menggelar BOBA FEST. Agenda spesial yang berlokasi di Parkir Premium GF tersebut akan menghadirkan 25 merek minuman boba. Mulai dari Kokumi, Tiger Sugar, Gulu Gulu, Fat Straw, Xing Fu Tang, In Tea, Koi Thé Chatime, dan masih banyak lagi. Festival ini juga bakal menghadirkan Daboba, merek bubble tea populer asal Malaysia.

Baca juga: Taman Bermain Boba Hadir di Jepang; Alasan Baru Berkunjung ke Macao

Agar lebih ekonomis, tersedia juga voucher BOBA FEST seharga Rp25.000 bagi pengunjung yang membeli minuman minimal Rp50.000 menggunakan kartu debit BCA. Sudah siap minum boba sepuasnya?

Nepal di Mata Fotografer

$
0
0
Kiri-kanan: Seorang warga memandangi foto peserta Photo Kathmandu di Patan Durbar Square; pedagang sayur dengan latar foto karya peserta Photo Kathmandu, festival foto yang digelar di beragam ruang publik.

Teks & foto oleh Edy Purnomo

Aroma hio bercampur bau gosong ranting cemara merambat di gang-gang Desa Manang. Sayup-sayup terdengar pula gemerincing lonceng doa membuka pagi yang dingin. Di desa di kaki Himalaya ini, sekitar 4.500 kilometer dari Jakarta, menembus udara segar seraya menajamkan pancaindra untuk memotret ibarat merasakan “orgasme” fotografi.

Sebagai seorang fotografer yang menggemari trekking, saya senantiasa mencari destinasi di mana profesi dan hobi saya bisa berjalan beriringan—dan Nepal adalah salah satu tempat yang paling ideal untuk itu. Khusus trip kali ini, saya bahkan diganjar bonus menghadiri festival Photo Kathmandu.

Alam dan budaya adalah dua magnet utama Nepal. Selain rangkaian gunung jangkung bermasker salju, negeri atap dunia ini didiami 30 juta warga yang mayoritas tekun merawat tradisi dan agama. Demi menyaksikan itu semua, kaum penjelajah internasional rutin melawat Nepal, terutama setelah tim pimpinan Sir George Everest melakukan survei topografi Himalaya pada abad ke-19.

Pendaki ulung (dan sugih) lazimnya membidik puncak-puncak yang paling semampai. Sebagian yang lain, termasuk saya, memilih trekking di jalur-jalur elok dataran tinggi, salah satunya Annapurna Circuit.

Annapurna Circuit, salah satu trek terpanjang di dunia, dinaungi pegunungan dengan elevasi antara 6.000-8.000 meter, contohnya Dhaulagiri, Machhapuchhre, Gangapurna, dan Manaslu. Sebagai perbandingan, Menara alam terjangkung di Indonesia, Puncak Jaya, tingginya “hanya” 4.884 meter.

Selain dikangkangi rantai pegunungan, jalur trekking ini dibelah persawahan, ditumbuhi hutan subtropik, serta ditaburi desa bersahaja yang menyandarkan hidupnya pada alam. Permukiman di dataran rendah umumnya didiami penganut Hindu, sementara pemeluk Buddha Tibet menghuni dataran tinggi seperti Manang dan Lower Mustang.

Seorang pemilik pondokan di Upper Pisang mengisi waktu sore.

Saya mengawali trekking di Bhulbhule, sebuah desa di kawasan konservasi. Mengikuti meander Sungai Marshyangdi, saya merandai jalur naik turun, kadang meniti jembatan gantung yang dihiasi bendera-bendera doa sarat warna yang terus berkibar ditiup angin. Selalu ada yang menarik dipotret sepanjang jalan, baik gunung, sungai yang membelah tebing, ataupun penduduk dengan segala aktivitasnya.

Annapurna Circuit membentang 160-230 kilometer di pinggang Pegunungan Annapurna. Sepanjang jalur, ada banyak desa yang rutin dijadikan area transit pengelana, misalnya Bahundanda, Chamje, dan Dharapani. Usai lima hingga tujuh jam berjalan, saya lazimnya beristirahat di pondokan di desa, lalu mengambil kamera dan melakoni eksplorasi fotografi. Tiap kali mengarungi desa di Nepal, saya mencoba mengenal kebudayaan lokal sekaligus memahami cara warga hidup di tengah gelombang modernisasi. Walau tanpa laut dan teronggok di atap dunia, Nepal sejatinya sudah terkoneksi dengan dunia. Turis dari penjuru bumi rutin mendatanginya. Tahun  lalu, angkanya mencetak rekor baru di atas  satu juta jiwa. Persinggungan transnasional itu juga berlangsung di jagat maya. Jaringan internet sudah terpasang di sini, dan media sosial bukanlah sesuatu yang asing bagi sherpa.

Melanjutkan ekspedisi ke area Chame, hutan rhododendron dan sungai Marshyangdi mendominasi lanskap. Warga di sini dibentuk dari percampuran antara komunitas Gurung, Manangi, dan Thakali yang menghuni rumah-rumah tradisional berdinding batu.

Di etape berikutnya, saya memasukiUpper Pisang, di mana karakter lanskap bergeser dari hutan subtropis menjadi alpin. Kini tersaji padang lapang yang dikerumuni tanaman perdu yang pendek. Seiring itu, panorama kultural pun berubah haluan ke arah Tibet, seperti terlihat dari banyaknya gompa dan biara Buddha.

Memotret di dataran tinggi menuntut bekal khusus. Selain peralatan fotografi yang prima menghadapi cuaca ekstrem, kita membutuhkan kemampuan beradaptasi dengan tipisnya udara. Kombinasi itu menentukan kadar kenikmatan trekking dan memotret.

Manang, desa di ketinggian 3.540 meter, sedikit di bawah Gunung Semeru, adalah wadah populer bagi para trekker untuk melakukan aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap lingkungan baru, dalam hal ini dataran tinggi.  Selain menampung pondok-pondok rehat, desa terbesar di Annapurna Circuit ini memiliki sebuah klinik yang saban sore memberikan kuliah seputar AMS (acute mountain sickness).

Manang jugalah sentra turis yang populer. Desa ini mengoleksi sejumlah teater yang rutin memutar video-video bertema petualangan di Himalaya. Di antara sesi menonton, pengunjung bisa kongko santai di kedai-kedai kopi atau German bakery. Selagi melakukan aklimatisasi, saya bertamu ke biara-biara Buddha dan tempat-tempat fotogenik di sekitar desa, salah satunya Danau Gangapurna.

5 Upaya Venesia dalam Melawan Arus Turis

$
0
0
Guna melindungi penjualan masakan lokal, Venesia juga larang pembangunan restoran cepat saji. (Foto: Miglė Vasiliauskaitė)

Besarnya jumlah turis yang berkunjung di suatu daerah tak selamanya berdampak baik. Salah satu kota yang paling menderita akibat polusi turis adalah Venesia. Tiap tahun, hampir 22 juta wisatawan mancanegara menginjakkan kaki di Venesia. Saking padatnya, pada akhir tahun lalu, warga lokal mengancam bakal eksodus jika pemerintah tidak membatasi kedatangan jumlah wisatawan. Oleh karena itu, pemerintah kota telah melakukan sejumlah upaya dalam menyelamatkan kotanya. Berikut lima di antaranya:

Larangan Membuka Hotel Baru
Pada Juni 2017 silam, akhirnya pemerintah kota resmi putuskan kebijakan pertama untuk Venesia, yaitu larangan dibukanya hotel baru. Hal ini tentu akan meresahkan investor yang gemar membeli bangunan klasik—yang sebelumnya menjadi tempat tinggal penduduk—dan mengubahnya menjadi hotel. Selain itu, pemerintah juga membatasi pembangunan restoran cepat saji baru guna melindungi penjualan masakan lokal. Metode ini diharapkan dapat mengerem kedatangan wisatawan dan menyelamatkan penduduk asli.

Kini hanya gondola yang bisa lewati area Grand Cana. (Foto: iSAW Company)

Larang Kapal Lintasi Grand Canal
Sejak Agustus 2018, wisatawan yang akan berlibur di Venesia, tidak lagi diperbolehkan melewati Grand Canal dengan perahu motor, kano, kayak, dan paddleboard. Hanya gondola yang telah menjadi ikon kota tersebut yang masih diperbolehkan untuk melintas. Namun, pemerintah masih mengizinkan beberapa kapal wisata untuk mengarungi kanal di waktu-waktu tertentu. Regulasi ini diterapkan setelah sebelumnya ada dua orang nelayan meninggal karena perahu mereka ditabrak oleh jet boat yang dikendarai sekelompok anak muda. Selain itu, pemerintah juga menganggap lalu lintas kapal kini sudah terlalu padat—terutama di musim liburan—sehingga dikhawatirkan dapat meningkatkan terjadinya kecelakaan. Nantinya, larangan tersebut tidak hanya dapat mengurangi ‘kemacetan’ di Grand Canal, tetapi juga di Cannaregio Canal dan beberapa kanal kecil lainnya.

Siapkan bujet lebih saat akan berkunjung ke Venesia, terutama di musim liburan. (Foto: Ingeborg Gärtner-Grein)

Terapkan Biaya Masuk
Mulai gerah disebut sebagai “Disneyland on Water”, warga lokal kian memaksa pemerintah untuk melakukan pembenahan kota. Pada Januari 2019, Luigi Brugnaro selaku Walikota Venesia resmi menerapkan kebijakan anyar yang dirasa cukup adil bagi kota dan penduduk lokal, yakni adanya biaya masuk turis ke Venesia. Biaya yang dibebankan berkisar antara Rp42.000-Rp83.000 per orang pada hari biasa, dan Rp166.000 pada musim liburan. Aturan ini berlaku bagi semua orang yang berkunjung ke kota kanal tersebut, meskipun hanya dalam hitungan jam saja. Nantinya, pendapatan ini bakal digunakan untuk biaya kebersihan kota.

Baca juga: Dilema Bersemayam di Venesia; Menikmati Burano, Venesia Versi Sepi

Pemerintah siapkan pelabuhan alternatif sebagai tempat bersandar kapal pesiar berukuran besar. (Foto: Henrique Ferreira)

Alihkan Rute Kapal Pesiar
Awal Agustus 2019, Menteri Transportasi Italia, Danilo Toninelli resmi mengungkapkan solusi nekat untuk mengatasi overtourism. Pria berusia 45 tahun tersebut berencana mengalihkan rute kapal pesiar dari tempat-tempat bersejarah menuju pelabuhan alternatif. Sehingga, kapal pesiar yang hendak berkunjung tidak dapat lagi bersandar di Terminal Marittima, Fusina (sebuah pelabuhan kecil di Venesia) atau Lombardia, melainkan di terminal milik pribadi. Langkah ini diambil karena penduduk lokal kembali protes setelah peristiwa kapal MSC 13-dek yang bertabrakan dengan kapal wisata di Terusan Giudecca pada Juni 2019 silam. Insiden ini membuat lima orang terluka dan memicu kepanikan banyak orang. Tak sampai sebulan, kapal Costa Deliziosa 12-dek kembali nyaris menabrak kapal pesiar lainnya ketika badai mengguncang Venesia.

Sekarang turis bakal dilarang berkumpul sambil merokok di beberapa lokasi di Venesia. (Foto: Tj Holowaychuk)

Terapkan Aturan Larangan Merokok
Sebagai sebuah destinasi wisata andalan di Italia, pesona yang dimiliki Venesia memang tidak terbantahkan. Tapi kota ini sudah menerapkan beberapa aturan yang mengatur wisatawan untuk lebih bersikap sopan. Awal September 2019, wali kota Venesia, Luigi Brugnaro, mempertimbangkan peraturan baru untuk para wisatawan, yakni larangan merokok di lokasi-lokasi tertentu. Mulai dari Jembatan Rialto hingga Piazza San Marco. Peraturan ini diharapkan dapat menjadikan udara di sekitar Venesia lebih bersih dan segar.

Rimba yang Terluka

$
0
0

Ulet Ifansasti sejatinya seorang travel photographer, tapi bukan dalam definisi yang jamak kita pahami. Pewarta foto yang berbasis di Yogyakarta ini rutin mengunjungi ke lokasi yang dihindari turis dan melawat tempat yang menyesakkan. Portofolionya berisi pantai penuh sampah di Banyuwangi, bekas-bekas tsunami di Banten, reruntuhan gempa di Palu, kampung berselimut debu pasca-erupsi Sinabung.

Dari semua karyanya, Paradise Threatened punya makna yang lebih personal. Proyek foto ini menceritakan deforestasi di Papua, tanah kelahirannya. Menaiki helikopter, Ulet memotret hutan yang dibabat dan bersalin fungsi jadi ladang kelapa sawit. Sebuah pekerjaan yang menurutnya memicu rasa sentimen dalam dirinya. “Sangat terasa ketika kita melihat secara langsung tanah kelahiran kita dihancurkan,” jelas Ulet, yang masih memiliki kerabat di Papua.

Paradise Threatened bermula pada 2009 ketika Ulet ditugaskan oleh LSM Greenpeace untuk mendokumentasikan deforestasi di Indonesia. Awalnya dia terjun ke belantara Sumatera dan Kalimantan—dua pulau di mana penebangan bergulir agresif. Demi mengimbangi foto-foto memilukan di sana, Ulet berinisiatif melawat Papua yang dianggapnya masih steril dari problem. “Saya ingin mendapatkan gambar hutan yang cantik,” kenangnya, “demi menunjukkan sisi optimistis bahwa masih ada yang harus kita perjuangkan sebelum terlambat.”

Gayung itu kemudian bersambut. Pada 2018 Greenpeace menawarkannya memotret Papua. Tetapi harapan Ulet tidaklah terwujud. “Selama sebulan mengabadikan foto-foto hutan di Papua bagian selatan, ternyata kita menemukan bukti deforestasi telah terjadi dan itu sangat masif.”

Hingga kini, Ulet sudah meliput wilayah dataran rendah di Papua bagian selatan, persisnya di Kabupaten Boven Digoel dan sekitarnya. Semua foto-fotonya diambil dari udara. Di tahap berikutnya, dia akan menyasar kawasan tengah dan barat. Agar dokumentasinya berimbang, Ulet ingin mendokumentasikan pihak-pihak yang diuntungkan dari pembukaan hutan untuk kebun.

Satu kendala besar yang mesti diatasinya ialah biaya. Reportase di rimba Papua tak cuma menuntut tubuh yang kuat menangkal malaria, tapi juga ongkos yang mahal. “Jujur, proyek ini membutuhkan dana yang begitu banyak dan akses yang tidak mudah. Saya banyak mendapatkan materi untuk proyek ini dari penugasan-penugasan dari berbagai penggiat lingkungan.” 

Paradise Threatened adalah sebuah alarm. Papua menyimpan salah satu keragaman hayati tertinggi di dunia. Setidaknya 20.000 spesies tanaman dan 125 mamalia hidup di sini. Kekayaan alamnya juga menjadi sandaran hidup warga. Di Papua, rusaknya hutan adalah bencana lingkungan yang berpotensi menjadi bencana kemanusiaan.

Ulet berharap Paradise Threatened bisa memicu kepedulian, walau dia juga melihat realitas miris hutan Indonesia sebagai tamparan moral bagi semua orang, termasuk dirinya sendiri. “Buah keserakahan manusia, dan kita semua berkontribusi,” ujarnya.—CR

Proyek foto ini dipilih lewat proses seleksi oleh editor tamu Beawiharta dan telah diterbitkan dalam DestinAsian Indonesia edisi Juli-September 2019.

Ulet Ifansasti_Paradise Threatened_001 Ulet Ifansasti_Paradise Threatened_002 Ulet Ifansasti_Paradise Threatened_003 Paradise Threatened Paradise Threatened Paradise Threatened

Ulet Ifansasti
Pria kelahiran Papua yang menetap di Yogyakarta ini bernaung di bawah Getty Images sejak 2008 dan kerap mendokumentasikan tema lingkungan. Karya-karyanya pernah diterbitkan oleh beragam media, termasuk The New York Times, Life, dan Time. Pada 2014 dan 2015, namanya masuk daftar kandidat Photographer of the Year versi The Guardian. uletifansasti.com.

Jakarta Culinary Feastival Kembali Digelar

$
0
0

Jakarta Culinary Feastival (JCF) kembali lagi tahun ini. Bakal digelar selama empat hari, yakni pada 3-6 Oktober 2019 di mal Senayan City, festival kuliner yang diprakarsai oleh Ismaya Live dan GoFood tersebut mengambil tema “In Bloom“.

Selain menampilkan demo masak, lokakarya kopi, talk show, Masterclass, wine tasting, dan diskusi seputar kuliner, JCF 2019 bakal menghadirkan tren-tren terbaru dunia kuliner yang membentuk industri makanan dan minuman Indonesia sampai saat ini.

Lebih dari 49 bintang di industri kuliner mancanegara dan Indonesia dari berbagai latar belakang seperti koki, mixologist, barista, dan pakar makanan serta minuman akan hadir dan memandu beragam aktivitas di JCF 2019.

Baca juga: Jakarta Gelar Festival Boba Pertama; 10 Acara Seru Bulan Ini

JCF lewat empat pilarnya yakni taste, sip, learn, dan fun akan membawa foodies—sebutan untuk pengunjung JCF—ke sebuah perjalanan kuliner lengkap dengan puluhan kios makanan dan minuman ternama. Terdapat Spoon Tent yang terletak di seberang North Lobby Senayan City dan Fork Tent yang terletak di seberang South Lobby Senayan City. Selain mengikuti Masterclass dan Chef’s Table Experience, pengunjung yang ingin menghadiri festival ini tak dipungut biaya masuk sepeserpun.

Informasi selengkapnya, kunjungi Jakarta Culinary Feastival.


Wellness Weekend di Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort

$
0
0

Yoga masih menjadi salah satu aktivitas favorit para pencinta hidup sehat. Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort, penginapan premium di Nusa Dua ini bakal menggelar acara akhir pekan spesial Wellness Weekend untuk menyeimbangkan fisik dan pikiran sehingga dapat mengembalikan kekuatan tubuh dan pikiran.

Selama dua hari, yakni pada 5-6 Oktober 2019 mendatang, Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort menawarkan liburan rejuvenasi dengan lima kali sesi yoga, mulai pukul tujuh pagi hingga empat sore. Dikomandoi oleh guru yoga profesional, Anjasmara, tamu dapat memilih tiga paket berbeda yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Selama yoga berlangsung, peserta bakal mendapatkan t-shirt, jus dan air mineral sepuasnya. Selain itu, mereka juga dapat menikmati aneka menu sehat yang telah diracik oleh koki Yuda Bustara dan Sophie Navita.

Baca juga: 6 Hotel Tertua di Bali; Checking In: Radisson Blu Bali Uluwatu

Paket pertama yang terdiri dari sesi yoga dibanderol Rp200.000, sedangkan satu kali sesi yoga dan Sunday brunch dipatok Rp650.000. Namun, jika tamu tertarik untuk mengikuti sesi retret ini selama dua hari berturut-turut dapat membayar sebesar Rp750.000. Tiket dapat dibeli di Traveloka, Tiket.com dan Loket.com.

Informasi selengkapnya, kunjungi Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort.

48 Jam di Penang

$
0
0
Chew Jetty, kampung terbesar dengan infrastruktur pariwisata paling mumpuni di Penang.

Teks & foto oleh Yusni Aziz

SABTU

09:00 Clan Jetties
Warga ras Cina, yang mewakili sekitar 40 persen populasi Penang, hidup menyebar di negara bagian ini. Tapi ada satu permukiman bersejarah yang masih melestarikan gaya hidup mereka tempo dulu—Clan Jetties (Pengkalan Weld, George Town). Di permukiman terapung ini, setiap gugusan umumnya ditinggali puluhan keluarga dengan marga yang sama. Jika Anda tipe yang sudi bangun pagi demi momen yang tak terlupakan, kunjungi dermaga Tan Jetty untuk melihat indahnya matahari terbit. Jika gemar berbelanja, kampung Chew Jetty dihuni banyak toko.

Seorang pengunjung tampak sedang berpose di ruang santai lantai dua Pinang Peranakan Mansion.

11:00 Pinang Peranakan Mansion
Panel kayunya dilapisi motif Cina, teralinya dihiasi ukiran bergaya Skotlandia, sementara keramiknya khas Inggris. Desain eklektik Pinang Peranakan Mansion (pinangperanakanmansion.com.my) membuktikan betapa keragaman budaya telah menjadi karakter Penang sejak abad ke-19. Sempat mangkrak akibat pewarisnya tak sanggup merawat, rumah megah ini dibeli oleh arsitek Peter Soon yang kemudian membukanya sebagai museum pada 2004. Di dalamnya tersimpan lebih dari 1.000 barang antik Peranakan. 

Aneka masakan India-Melayu disajikan di Restoran Hameediyah.

13:00 Hameediyah
Bermula dari mengandar (memikul) dua keranjang nasi di bawah pohon angsana pada 1907, Mohamed Thamby, seorang imigran India, berhasil membesarkan usahanya menjadi restoran nasi kandar tertua, barangkali juga tersukses, di Penang. Konsep penyajian Hameediyah (Lebuh Campbell 164, George Town) mirip warung Padang: pengunjung memilih langsung lauk yang terhidang di meja. Bedanya, di sini tamu bisa memilih opsi nasi biryani.  

Taman Buddha dan Lima Biksu di kompleks Kuil Kek Lok Si.

15:00 Kek Lok Si
Buddha adalah agama dengan penganut terbanyak kedua di Malaysia, dan rumah ibadahnya yang terbesar berlokasi di Penang. Di lahan 12 hektare di kaki bukit Air Itam, Kek Lok Si (Tingkat Lembah Ria 1) menampung patung tembaga Kwan Im, serta Pagoda Rama VI yang berdesain eklektik—kombinasi antara bentuk dasar oktagon khas Cina, bagian tengah bergaya Thailand, serta mahkota khas Burma. Momen paling magis untuk berziarah ke sini ialah Tahun Baru Cina, ketika kompleks kuil berpendar di waktu malam berkat kehadiran ribuan lampion dan instalasi cahaya.

Lampion warna-warni menghiasi langit-langit Restoran Tai Tong untuk memperingati Festival Hantu Lapar.

18:30 Tai Tong
Ini tipikal restoran keluarga oriental yang ditaburi kursi plastik, dilapisi ubin dari lantai hingga dindingnya, serta didinginkan kipas angin yang melekat di tiap pilarnya. Selama lebih dari separuh abad Tai Tong (Lebuh Cintra 45, George Town) setia menjajakan dim sum. Selain memesan ke pramusaji, tamu bisa mencomot dim sum hangat dari troli yang didorong oleh staf wanita paruh baya. Satu yang perlu diingat, restoran ini rehat sejenak dari pukul 14:30 hingga 18:15 setiap harinya.

Suasana Love Lane yang cukup ramai menjelang malam hari.

21:00 Love Lane  
Walau belum ada kesepakatan di kalangan sejarawan, julukan Love Lane (George Town) konon terinspirasi dari kehadiran banyak rumah bordil di jalan ini pada masa lalu. Kehidupan malamnya masih meriah, tapi tawarannya sudah berbeda. Untuk memulai tur nokturnal, kunjungi Micke’s Place (Love Lane 94) yang kerap menanggap live music. Berjalan sekitar 10 menit ke utara, ada Upper Penang Road yang dihuni kelab-kelab malam yang lebih premium, salah satunya Three Sixty Revolving Restaurant & Sky Bar (360rooftop.com.my), wadah ideal untuk menyeruput koktail seraya menatap lanskap George Town. 

3 Ruang Fotografi di Asia Tenggara

$
0
0
Fasad unik Deck di Singapura.

Deck, Singapura
Rekomendasi: Ore Huiying
Galeri ini dirintis pada 2014 oleh tim yang juga mendirikan Singapore International Photography Festival. Berisi ruang pamer, studio, perpustakaan, dan kedai, Deck didesain sebagai tempat fotografer memajang karya, berbagi cerita, juga menambah wawasan. deck.sg.

Tampak seorang pengunjung yang sedang menikmati karya yang digelar di Pathshala, Dhaka.

Pathshala, Dhaka
Rekomendasi: Habiba Nowrose
“Datang kapan saja, kita akan menemukan fotografer dan seniman kongko di sini, termasuk di kedai-kedai teh di sekitarnya,” ujar Habiba tentang Pathshala. Persis di samping Pathshala ada Cafe Mango yang kerap digunakan untuk pameran mini. pathshala.org.

Interior Artbooks yang cukup lapang.

Artbooks, Manila
Rekomendasi: Veejay Villafranca
“Ini bekas studio foto yang diubah jadi toko buku kecil, plus laboratorium cetak digital,” jelas Veejay. Artbooks dikelola oleh Pioneer Studios, lembaga yang mendokumentasikan seni dan kebudayaan Filipina, melayani jasa cetak foto, serta mengasuh bank arsip foto Luzviminda. artbooks.ph.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2019 (“Kantong Komunal”).

Asal-Usul Insumatra Photo Festival

$
0
0

Oleh Cristian Rahadiansyah

Tentang Sore Rabu Project?
Pendirinya lima orang dari beragam kampus. Sore Rabu Project bukan kolektif, tapi semacam diskursus. Tidak ada markasnya. Tidak ada struktur organisasinya. Dan tidak hanya membahas foto. Kami juga mengundang peneliti dan sejarawan.

Kegiatannya apa saja?
Lokakarya, diskusi, dan menampilkan esai foto di website. Kegiatannya berpindah-pindah. Lokakarya digelar setahun sekali, kecuali pada 2018 yang diadakan dua kali, sekalian menyambut Insumatra Photo Festival.

Ide Insumatra Photo Festival?
Idenya muncul pada 2016. Awalnya saya berdiskusi dengan Cho [Lolly Elysha Fauzy], yang sebelumnya terlibat dalam Padang Literary Biennale. Waktu itu panitia sudah dibentuk, tapi lalu mandek karena kesibukan masing-masing dan sulit mendapatkan sponsor.

Alasan menggelar festival?
Secara pribadi, saya melihat ketika fotografer dari Jawa datang ke daerah, banyak teman merasa kerdil. Padahal dalam hal kualitas foto bisa bersaing. Insumatra didirikan untuk mengakomodasi karya teman-teman di sumatera. Melalui ajang ini, harapannya, kami bisa membangun prestise fotografer di sini. Daerah juga bisa menciptakan acara fotografi akbar.

Insumatra Photo Festival tahun ini digelar pada Februari-Maret silam.

Sumatera Barat punya kampus dengan jurusan fotografi, komunitas foto, dan kini ada festival foto. Apa lagi yang dibutuhkan?
Galeri alternatif. Taman budaya Sumatera Barat terkesan privat. Cita-cita kami selanjutnya adalah memiliki galeri untuk mengakomodasi karya teman-teman.

Proyek foto yang sedang digarap?
Sinking Java. Melanjutkan proyek Permata Photojournalist Grant 2017. Proyek ini direncanakan selesai pada akhir 2019, kemudian dibukukan.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2019 (“Suara Sumatera”).

Proyek Foto 17 Tahun di Mongolia

$
0
0
Seorang penggembala di Danau Tolbo yang bertengger di ketinggian 2.080 meter di sisi barat Mongolia.

Teks & Foto oleh Frédéric Lagrange

Padang rumput yang bergelombang, pegunungan yang agung, langit biru tanpa batas, dan legiun penggembala nomaden penghuni stepa. Mongolia memang punya banyak hal yang memesona kita. Tapi Frédéric Lagrange, fotografer asal Versailles yang berbasis di New York, sebenarnya tak cuma terpesona. Dia terpikat, bahkan bisa dibilang kecanduan. Dalam kurun 17 tahun, dia bolak-balik memotret negeri ini, lalu membukukan hasil fotonya pada 2018.

Frédéric awalnya mendengar Mongolia dari buyutnya, Louis, seorang mantan serdadu Prancis yang pernah disekap oleh Jerman semasa Perang Dunia II. Frédéric, yang waktu itu masih kecil dan menetap di Versailles, ingat betul peristiwa pembebasan buyutnya pada 1944 oleh detasemen pasukan Mongol di bawah komando Uni Soviet. Mereka dengan ganas merangsek kamp tahanan dan membuat tentara Jerman kabur tunggang langgang. “Kisah itu meninggalkan imaji yang membeku dalam pikiran saya tentang Mongolia dan orang orangnya,” tulis Frédéric dalam catatan pengantar Mongolia, buku foto pertamanya. “Bagaimanapun, kepada mereka saya berutang nyawa buyut saya, dan dengan itu, juga nyawa saya.”

Kiri-kanan: Seorang gembala muda di tendanya yang terletak di dekat Danau Khövsgöl, belahan utara Mongolia; teater renta warisan era Uni Soviet di Choir, kota yang teronggok di tepi jalur kereta Trans-Mongolia, sekitar 220 kilometer sebelah tenggara Ulaanbaatar, Ibu Kota Mongolia.

Frédéric kali pertama menginjakkan kakinya di Mongolia pada 2001, 10 tahun usai negara ini membuka babak baru selepas kejatuhan Uni Soviet. Bermodalkan tabungan dari hasil kerjanya sebagai asisten fotografer fesyen Nathaniel Goldberg di New York, dia terbang ke Beijing, lalu menaiki kereta jurusan Ulaanbaatar. Dari situ, Frédéric berkelana selama empat minggu hingga ke danau garam Üüreg Nuur di Pegunungan Altai, belahan barat Mongolia. Dalam trip itu pula, dia menjalin persahabatan dengan sebuah keluarga pengembara, termasuk ikut berburu marmot dan mengawal ternak mereka dari ancaman serigala. Kunjungan perdana itu tak hanya membuka kisah cintanya dengan Mongolia, tapi juga kariernya sebagai seorang fotografer travel.

Sebuah keluarga tengah merakit tenda di bumi perkemahan musim panas di Provinsi Bayankhong.

Dihitung sejak kunjungan pertamanya, Frédéric total sudah 14 kali melawat Mongolia. Tripnya kadang bergulir panjang. Frédéric sudah mengalami empat musim berbeda, juga mengarungi hampir tiap sudut tanah enigmatik ini. Ekspedisinya ditempuh dengan beragam moda: mengendarai mobil, melayang dengan pesawat Tupolev renta buatan Rusia, juga menunggang kuda dan unta.

Medan di Mongolia cukup menantang. Masih basah dalam ingatan Frédéric saat dia merangsek badai salju dan badai pasir, menembus celah berbahaya di danau es, juga meringkuk di tengah suhu minus yang mengakibatkan kamera Pentax 6×7 miliknya macet. Tapi negara lapang yang terkurung daratan ini juga menghadirkan banyak kenangan manis. Di setiap bumi perkemahan, warga menyediakan tenda tradisional ger yang dikhususkan bagi tamu. Frédéric mengenang mereka sebagai, dalam kata-katanya, “beberapa orang yang paling hangat dan paling ramah yang pernah saya temui.”

Kiri-kanan: Seekor burung dibingkai oleh lubang asap ger (tenda tradisional Mongolia) yang sedang dikonstruksi di Desa Sagil, dekat perbatasan Rusia; permukaan beku Khövsgöl, danau air tawar terluas kedua di Mongolia, yang luasnya lebih dari dua kali lipat Danau Toba.

“Aset terbesar saya dalam proyek jangka panjang ini ialah para pemandu lokal, contohnya sahabat saya, Enkhdul Jumdaan,” tambahnya. “Mereka membantu saya memahami sistem, tradisi, dan kearifan lokal.” Bermodalkan pengetahuan dan wawasan dari pemandu, Frédéric belajar beradaptasi dengan irama hidup setempat. “Orang-orang di sini sulit diprediksi dan kadang memicu rasa frustrasi, jadi saya melakukan perencanaan seminimal mungkin.”

Demi membangun kepercayaan, Frédéric rutin berpartisipasi dalam ritus setempat. Setiap memasuki sebuah kamp misalnya, dia ditawari suutei tsai (teh asin campur susu) serta keju atau daging rumahan. Sebagai gantinya, dia memberikan gula, garam, rokok, permen, atau pena. “Saya selalu memastikan punya hadiah untuk diberikan,” jelasnya.

Viewing all 1032 articles
Browse latest View live