Lebih dari satu juta “rumah hantu” berhasil didokumentasikan di Italia. Mereka bercerita tentang permukiman-permukiman tua yang raib dari peta, juga tentang peliknya upaya melestarikan warisan zaman.
Teks oleh Claudio Agostoni
Foto oleh Bruno Zanzottera
“The wind blows round” adalah pepatah bangsa Occitan yang bermakna, “semua yang telah pergi pasti kembali.” Pepatah itu pula yang dipilih oleh sutradara Italia Giorgio Diritti sebagai judul filmnya yang mengisahkan perjuangan segelintir kaum lansia di sebuah desa pegunungan yang terus kehilangan warganya.
Fenomena pahit dalam film itu sebenarnya berlangsung di banyak tempat di Italia. Di banyak desa yang bertengger di lereng curam dan kota kecil yang bersarang di bukit terpencil, populasi manusia terus menyusut hingga akhirnya ludes. Realitas serupa melanda sentra-sentra peternakan di sepanjang Lembah Po dan pulau-pulau di Gugusan Venesia.
Pergerakan manusia telah menciptakan tanah-tanah yang telantar. Sebuah “abandonation.” Menggunakan Google Earth, sekitar 1.500 desa telantar berhasil dipetakan. Desa-desa ini tadinya sukar dilacak bahkan memakai sistem navigasi satelit tercanggih sekalipun. Proyek pemetaan mereka—disebut “Operasi Rumah Hantu”—bergulir selama tujuh tahun. Hasilnya adalah sebuah gambaran dampak dramatis urbanisasi dan migrasi di Italia.
Operasi Rumah Hantu juga menginventarisasi 1,26 juta rumah. Mayoritas berbentuk rumah petani atau pondokan yang berkerumun di kota-kota historis yang kini tak lagi bertuan. Data itu memperlihatkan betapa banyak desa telah raib, bersalin rupa menjadi hutan, tanpa menyisakan pelang, gapura, atau markah apa pun di atas peta. Mereka seakan musnah ditelan zaman. Desa-desa tersebut mungkin pernah diguncang gempa atau diterjang banjir, barangkali tenggelam akibat pembangunan waduk atau bendungan, atau murni terbengkalai akibat dilupakan warganya. Pastinya, bendera Italia tak lagi berkibar di sana.
Umat manusia menginvasi dan menduduki alam, kemudian menulis risalah dan merangkai peradaban di atas tanah tersebut. Sekarang, kita melihat banyak kasus di mana ikatan batin dan fisik antara penduduk dan tanah dudukannya telah terputus. Dalam abandonation, alam seolah membalas dendam: mengambil alih bumi. Kolonisasi berubah menjadi naturalisasi.
Karena tak lagi ditebangi, pohon-pohon tumbuh subur hingga melahirkan belantara yang lebat dan pekat. Proses itu berpengaruh pada perilaku satwa. Babi hutan misalnya, kian menjadi wabah. Sementara mamalia berkuku (ungulate) semacam rusa terus beranak-pinak.
Sejumlah penelitian ornitologi juga mencatat terjadinya tren peningkatan jenis burung hutan. Setelah manusia berhenti mengolah lahan pertanian dan peternakan, semua burung yang lazim berkembang biak dalam iklim agrikultur, misalnya burung murai dan kutilang, perlahan lenyap.
Sejatinya tak ada yang mubazir dari proses migrasi manusia. Ruang-ruang yang mereka tinggalkan diambil alih satwa. Menara lonceng menjadi ruang bersarang bagi burung-burung hutan. Jalan-jalan kota yang terkubur rumput tebal menjadi restoran prasmanan bagi satwa herbivora. Sementara pondok-pondok ringsek menjadi rumah masa depan bagi gerombolan anjing liar atau kawanan kelelawar.