Maladewa bukan cuma soal resor mewah. Negeri ini juga menawarkan ekspedisi yang akan membawa kita menyapa raksasa lautan, menyambangi pulau tak bertuan, serta mengintip realitas hidup yang luput dari bingkai Instagram.
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Jerry Aurum
“Di sana!” teriak segani. “Lompat sekarang. Sekarang!” Mengenakan sepatu katak dan masker, semua orang menceburkan diri. Selang beberapa detik, sesosok bayangan hitam menyeruak dari air keruh. Orang-orang berenang melawan gelombang untuk menghampirinya. Tapi tak lama, sebab sosok hitam itu lekas raib ke laut dalam.
Kembali ke speedboat, segani melayangkan pandangan ke lautan, berupaya melacak jejak di balik ombak. “Di sana!” lagi-lagi dia berteriak dan suasana pun buncah. Semua orang bergegas terjun ke air layaknya Pasukan Katak yang hendak menyergap penyusup. Sosok hitam itu kini lebih jelas terlihat. Panjangnya sekitar lima meter. Tubuhnya kelabu dengan motif polkadot. Perkasa, walau parasnya dungu: bibirnya tebal, kepalanya gepeng. Whale shark, ikan terbesar sejagat, bagaikan produk cinta segitiga antara paus, hiu, dan dalmatian. Sudah lama saya ingin melihatnya. Satwa yang lazim disebut “hiu tutul” itu bak sebuah anomali. Kendati satu rumpun dengan hiu, ia bukan penggemar daging, melainkan plankton. Entah kenapa badannya bisa mekar begitu besar.
Hari kian terik. Semua orang kembali ke speedboat, lalu meluncur ke sebuah yacht. Tiba di buritan, kelasi membagikan handuk dan minuman dingin, sementara saya beranjak ke restoran untuk menambal lapar. Ini hari yang menguras napas sekaligus mendebarkan. Hari yang tidak saya sangka bisa saya alami di Maladewa. Tapi ini sesungguhnya hari yang normal di atas Four Seasons Explorer.
Pulau berserakan seperti teratai di kolam tenang. Di tepinya, laut bergradasi pirus-biru, bagaikan giok yang luntur ke samudra. Sebagian pulau ditumbuhi pepohonan. Sebagian hanya berbentuk cincin karang tanpa sebidang tanah pun untuk dipijak. “Salah satu keajaiban dunia,” begitu Ibnu Battuta melukiskan tempat ini enam abad silam.
Ini kali pertama saya mengunjungi Maladewa, sebuah negeri yang bersinonim dengan “liburan romantis.” Mendengar namanya, benak kita pasti dipenuhi foto pulau yang dibingkai pasir putih dan barisan vila di laut dangkal. Maladewa bagaikan sebuah kata yang terjelaskan dengan sendirinya.
Tapi saya tidak datang untuk merayakan romantisme. Dalam ekspedisi berdurasi lima hari, saya akan mengarungi perairan di jantung Maladewa, bersauh di halaman pulau-pulau kecil, serta memanjakan diri dengan kemewahan sebuah hotel terapung. Tapi bukan cuma itu. Saya sebenarnya juga berniat mencari tahu: adakah tawaran lain Maladewa di luar resor-resor mewah? Mungkinkah negeri elok ini ditafsirkan berbeda?
Tubuhnya putih, menantang birunya laut. Fasadnya lancip, mengilat, seperti Lamborghini di atas air. Four Seasons Explorer, yacht yang melayani tur liveaboard, bagaikan sebuah antitesis. Ketika banyak orang menerjemahkan Maladewa sebagai surga relaksasi, Explorer justru mengajak kita mengetes hasrat petualangan. Berolahraga mengejar whale shark hanyalah salah satu atraksi utamanya.