Quantcast
Channel: Themes | DestinAsian Indonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1032

Bangkitnya Pariwisata Tohoku

$
0
0

Pelayan merapikan ornamen di pintu kedai.

Lima tahun usai diterjang gempa dan tsunami, Tohoku kembali membuka tangannya bagi wisatawan. Apa yang berubah?

Teks & foto oleh Reza Idris

Tohoku sudah aman. Sudah aman. Toshi, pemandu saya, terus mengulangi kata-katanya. Dia yakin badai sudah berlalu. Horor sudah lewat. Tohoku telah siap kembali menyambut turis.

Lima tahun silam, gempa hebat mengguncang tanah ini, lalu memicu tsunami yang menyapu ribuan rumah. Saat air mata masih berlinang, bencana susulan melanda: sebuah reaktor nuklir bocor dan memuntahkan radiasi. Ini tragedi alam terdahsyat dalam sejarah modern Jepang. Bank Dunia mencatatnya sebagai bencana termahal sejagat. Saya datang saat luka itu sudah mengering.

Dari Tokyo, kereta peluru membelah perbukitan, menembus perut gunung, hingga akhirnya mendarat di Tohoku. Saya disambut gunung-gunung bercaping salju. Angin sejuk berembus, mentari bersinar hangat.

Tohoku berada di utara Tokyo. Luasnya 67.000 kilometer persegi, kira-kira separuh Pulau Jawa. Kawasan ini menampung enam prefektur, semacam provinsi di Jepang. Lanskapnya didominasi bukit dan pantai. Musim di sini bergulir lebih lambat dibandingkan kawasan lain di Jepang. Saat Tokyo atau Kyoto sudah menikmati musim semi, sebagian Tohoku masih terkubur salju.

Saya memulai perjalanan dari Prefektur Fukushima, gerbang masuk Tohoku. Namanya sempat menghiasi tajuk media akibat tragedi nuklir. Ancaman radiasi memaksa pemerintah menutup sekitar 10 persen kawasan pesisir di sini, lalu menetapkannya sebagai zona terlarang. Kita seolah dihadapkan pada Chernobyl versi Asia.

Mengesampingkan area verboten itu, Fukushima sejatinya tempat yang sangat menawan. Ikon pariwisatanya adalah pohon sakura. Saya bergabung dengan rombongan asal Korea dan RRC, lalu mendaki bukit untuk menyaksikan pohon sakura paling terkenal di seantero Jepang—Takizakura.

Namanya berarti “air terjun.” Rantingnya memang menjurai menyerupai kucuran air terjun. Di sekitarnya, bunga nanohana kuning bermekaran layaknya dayang-dayang yang menemani seorang raja. Raja yang sudah sepuh. Takizakura berusia sekitar 1.000 tahun. Tubuhnya ditopang tiang-tiang kayu, membuatnya seperti kakek renta yang memakai tongkat. Entah sudah berapa gempa yang mengguncangnya, ia masih saja tumbuh subur, masih saja berpose di depan kamera turis. “Paling hanya beberapa batang yang rontok. Sisanya lihat, masih kuat bukan?” ujar Toshi.

Tingginya 12 meter dengan bentangan sayap mencapai 20 meter. Pada 1922, pohon sakura tertua di Jepang ini dinobatkan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah. Hari ini, saat pohon sakura di Tokyo mulai menggugurkan daun-daunnya, Takizakura masih merekah. “Iklim dingin yang masih membasuh Tohoku adalah faktor utamanya,” kata Toshi seraya menunjuk kabut yang melayang di bukit.

Dari pohon sakura sakral berusia satu milenium, saya berpindah ke Hanamiyama yang menawarkan taman bunga yang menghiasi bukit setinggi 200 meter. Awalnya perkebunan pribadi, taman ini berubah menjadi objek wisata populer sejak dibuka untuk publik 57 tahun silam. Dari kejauhan, ia terlihat seperti taman dari negeri dongeng. Shotaro Akiyama, fotografer kawakan Jepang, bahkan menjulukinya Shangri-La versi Fukushima.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1032