Quantcast
Channel: Themes | DestinAsian Indonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1032

Wisata Seni di Amsterdam

$
0
0

Sejumlah pengunjung Rijksmuseum menikmati lukisan The Night Watch karya terbesar Rembrandt yang dilukis pada 1642.

Dari Rembrandt hingga Van Gogh, Amsterdam menyemai banyak seniman besar yang mengubah cara kita memandang seni. Dan kisah itu belum rampung ditulis. Di kota paling liberal di dunia ini, tak ada pagar bagi kebebasan berekspresi, tak ada pasung bagi kemerdekaan bereksperimen.

Oleh Cristian Rahadiansyah

Foto oleh Donang Wahyu

Yang pertama hidup pada abad ke-17, sedangkan yang kedua pada abad ke-19. Yang pertama menghadirkan keindahan; yang kedua mengekspresikan keindahan. Yang pertama meninggal dalam keadaan bangkrut lalu dikubur di makam tanpa nisan; yang kedua hidup dengan depresi dan tewas bunuh diri pada usia 37 tahun. Di Amsterdam, saya berkenalan dengan keduanya.

Satu kota, dua nama. Amsterdam tak bisa dipisahkan dari sosok Rembrandt Harmensz van Rijn dan Vincent van Gogh. Mustahil bicara seni di kota ini tanpa menyinggung kedua pelukis agung tersebut. Dan tak ada kota yang memuja keduanya melebihi Amsterdam.

Interior Rijksmuseum pasca-renovasi.

Interior Rijksmuseum pasca-renovasi.

Di Amsterdam, Rembrandt diabadikan sebagai nama jalan. Rumahnya dijadikan museum, sementara patungnya dipajang di sebuah alun-alun. Van Gogh juga dipuja. Sebuah museum didirikan sebagai penghormatan untuknya. Rembrandt dan Van Gogh sudah lama pergi, namun Amsterdam berhasil membuat keduanya terus hadir di antara kita, menyentuh kita, berbicara dari balik kanvas.

Datang di minggu-minggu terakhir musim gugur, Amsterdam menyambut saya dengan udara dingin dan langit kelabu. Saya berjalan menuju Rembrandt House Museum, menyeberangi kanal-kanal berair hijau, melewati rumah-rumah langsing yang sebagian miring layaknya pohon ditiup angin. “Rembrandt mungkin orang pertama yang menemukan selfie,” ujar Martijn Bosch, pemandu di Rembrandt House. Dia menunjukkan logo museum yang memperlihatkan potret diri Rembrandt dengan raut muka terperanjat, seperti orang yang melihat kucing tergilas delman. Sang pelukis, tambah Martijn, sejak muda gemar mengeksplorasi air mukanya sendiri. Eksperimen itulah yang kelak membuatnya mahir melukis manusia.

Rembrandt House adalah kediaman sang pelukis dari 1639-1658. Rembrandt menetap di sini bersama istri dan anak-anaknya, ditambah seorang pembantu yang kemudian dikencaninya usai sang istri mangkat. Karya terbesarnya, The Night Watch, juga dilukis di sini. “Rumah ini dipilih Rembrandt karena menghadap ke utara, jadi cahaya di dalam studio senantiasa lembut,” ujar Martijn.

Rumah ini lebih memperkenalkan figur Rembrandt sebagai manusia, suami, juga ayah. Untuk mengenal sosoknya sebagai pelukis, saya berpindah ke Rijksmuseum, kali ini dengan menumpang trem. Trem saya menyusuri jalan-jalan berlapis batu, membelah kota sepuh yang seolah mencuat dari buku-buku sejarah. Zona khusus bernama “Kota Tua” tidak eksis di sini, karena seantero Amsterdam sejatinya berstatus kota tua. Amsterdam saat ini adalah Amsterdam yang dibangun pada abad ke-17. Sebuah masa di saat kapal-kapal layar hilir mudik mengangkut berton-ton hasil bumi dari Asia. Sebuah masa yang dipandang gemilang dan dikenang dengan nama Zaman Keemasan. Saya kadang membayangkan, dari tiap batang bata yang menyusun bangunan di sini, tersimpan tetesan keringat kakek-buyut saya. Rembrandt hidup di periode itu.

Periode yang menyenangkan bagi seorang seniman. Kaum kaya yang lahir dari sektor perdagangan menyibukkan seniman dengan pesanan lukisan potret dan patung. Lancarnya pesanan jugalah yang memungkinkan Rembrandt membiayai hobinya mengoleksi benda antik, mulai dari keris hingga baju zirah—hobi yang kemudian membuatnya bangkrut.

Saya melawat ke Rijksmuseum dengan perasaan sentimental. Menikmati karya-karya seniman besar adalah pengalaman yang telah lama saya nantikan. Sewaktu kecil, saya rajin menggambar. Dalam sebulan saya bisa menghabiskan satu rim folio yang dicomot diam-diam oleh ibu saya dari kantornya, karena waktu itu keluarga saya tak mampu membiayai kebutuhan tersier semacam hobi menggambar.

Dan berhubung cat air terlampau mewah, saya hanya melukis saat mengikuti lomba. Hari ini, di Amsterdam, saya bukan hanya melihat-lihat lukisan masyhur yang diperebutkan dunia, tapi juga berkenalan dengan para seniman yang mengubah cara kita memandang seni lukis.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1032