
Pemandangan asri di Bali Barat.
Walau berita suram tentang kritisnya curik masih menghantui, kawasan Bali Barat kembali bergema berkat kehadiran resor baru, atraksi baru, dan magnet wisata baru. Angin segar bagi agenda pemerataan turis di Pulau Dewata.
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Putu Sayoga
Mobil berpelat “tenggiling” merayap pelan di jalan berbatu yang dikepung hutan. Sopir sesekali memperlambat laju kendaraan demi menghindari monyet-monyet yang menyeberang. Tiba di restoran, kawanan rusa berkerumun di balik semak, sementara seekor biawak menyelinap di kolong dapur. Pagi yang normal di Taman Nasional Bali Barat. Di sini, setiap hari sejatinya sebuah safari.
Di perbatasan barat Bali, di belahan pulau yang menyerupai jengger ayam, belantara terhampar luas. Pokok-pokok pohon jalin-menjalin, menggerayangi pesisir, membalut puncak-puncak gunung. Di sekitarnya, laut begitu jernih hingga awan-awan tak bisa berhenti becermin. Duduk menyantap sarapan di tepi hutan bakau, menonton Pulau Menjangan dan Gunung Baluran di kejauhan, saya pun bertanya-tanya: bagaimana mungkin tempat seindah ini minim turis? Barangkali karena jaraknya yang jauh.
Dari bandara, saya berkendara ke sini dengan menempuh jarak 150 kilometer. Selepas kawasan selatan yang semarak, mobil melewati daerah Tabanan di mana jalan-jalan berkelok laksana ular yang melilit bukit. Memasuki Desa Pupuan, sawah-sawah mengukir lereng dan lembah-lembah hijau meniupkan sejuk.
Tiba di pesisir utara, mobil berbelok ke arah Pemuteran dan meluncur ke ujung barat pulau. Kian dekat ke tujuan, hutan kian lebat. Bali Barat bermukim di Buleleng, kabupaten terluas di Bali yang dibatasi laut dan dikangkangi gunung-gunung yang saling bersinggungan bahu. Di masa lalu, ketika gunung-gunung tak tertembus dan jalan-jalan belum dibentangkan, Buleleng seperti terkunci dari kawasan selatan Bali. Tempat ini lebih akrab menjalin hubungan dengan Jawa Timur yang hanya terpisahkan oleh sebuah selat sempit, ketimbang dengan kerabat mereka yang berjarak jauh di Gianyar atau Karangasem.
Konon, relasi lintas pulau inilah yang membuat warga Buleleng mengidap karakter yang berbeda dari kawasan lain di Bali: kosmopolitan sekaligus keras. “Orang-orang Buleleng lebih Suroboyan,” ujar seorang pria yang saya temui di selatan Bali.

Kiri-kanan: Kolam renang di beach club Octagon, Plataran Menjangan; trekking, salah satu aktivitas andalan di Bali Barat.
Sebelum bandara tertancap di Denpasar, Buleleng juga merupakan gerbang utama ke Bali. Singaraja, kota terbesarnya, pernah menyandang status Ibu Kota Bali. Kali pertama melawat ke Bali, Alfred Russel Wallace juga mendarat di Buleleng (waktu itu dia menyebutnya “Bileling”). Dari Singapura, sang naturalis berlayar selama 20 hari menaiki sekunar Kembang Djepoon. Itu tahun 1856, periode yang tak menjanjikan kenyamanan bagi seorang pengelana. Saya tak tahu apa yang dipikirkan Wallace usai mengetahui berkendara empat jam adalah perkara besar bagi turis untuk menyambangi Bali Barat.
“Jadi berkuda?” tanya seorang staf resor The Menjangan, saat saya tengah menikmati sarapan. “Hari ini menyelam di mana?” tanya staf lainnya. Pagi baru dibuka, tapi semua orang tampak semangat seperti siswa di hari pertama sekolah. Bali Barat, satu-satunya taman nasional di Bali, memang tempat yang menjanjikan untuk mengarungi hutan ataupun menyelami lautan. Sekitar 15 persen hutan di Bali bersemayam di sini. Lautnya tertutup bagi aktivitas perikanan.
Bersama Komang, pemandu selam dari desa setempat, saya menonton ratusan belut yang menari-nari seperti kobra di depan peniup seruling pungi. Siang harinya, kami melacak kuda-kuda laut yang bersembunyi di sela-sela ranting sea fan. “Dulu semua warga di sini menangkap ikan. Setelah ada taman nasional, melaut dilarang, jadi banyak orang pindah ke sektor pariwisata,” ujar Komang.
Kendati berjarak hanya empat jam berkendara dari Denpasar, Bali Barat seperti dunia yang terpisah oleh milenium. Ada lebih banyak pohon ketimbang kendaraan. Ada lebih banyak rusa ketimbang manusia. Di sini, berlibur berarti bersedia melebur dengan alam. Kita akan senantiasa diajak untuk mensyukuri matahari yang menumbuhkan daun, menikmati waktu yang menyambung dahan, serta—meminjam petuah arif yang populer itu—tak meninggalkan apa pun kecuali jejak dan tak mengambil apa pun selain foto.
Membaca akta kelahirannya, Bali Barat baru diresmikan pada 1995, tapi riwayatnya bisa ditarik ke masa-masa awal pendirian Republik Indonesia, yakni saat kawasan ini dinobatkan sebagai Natuurpark oleh Dewan Raja-Raja Bali, lalu diusulkan menjadi taman nasional dalam Kongres Taman Nasional Dunia di Denpasar.

Jip yang bisa dipakai mengantar tamu Plataran Menjangan menjelajahi kawasan sekitar.
Babak pariwisata di sini masih berusia muda. Tak lama setelah Orde Baru tutup buku, pemerintah berniat menjadikan Bali Barat magnet turis. Konsesi lahan diterbitkan dan dua resor pun dibangun, salah satunya The Menjangan yang dikerek pada 2002—keputusan yang disambut positif oleh para pelaku usaha. Persis di luar tapal batas taman nasional, sejumlah investor mendirikan hotel, operator tur, dan dive center. Semenjak itu, demam pelesir ke utara Bali pun dimulai. Bali Barat merekah menjadi destinasi baru—fenomena yang kemudian dipuji banyak pihak sebagai jawaban bagi agenda pemerataan turis di Pulau Dewata.
“Pohon ini bisa menyembuhkan diabetes, pohon itu bisa menyebabkan kebutaan,” ujar Ade Dwi Mahendra. “Nah, kalau yang itu biasa dicari orang untuk bahan tasbih dan gagang keris.” Bersama Ade, pemandu trekking, saya menjelajahi jenggala dengan merandai jalan-jalan berbatu. Seperti ensiklopedia berjalan, Ade dengan lugas membeberkan nama-nama pohon dan mengulas faedahnya. “Sudah saya coba, memang terbukti benar,” tambahnya tentang daun yang berkhasiat meningkatkan gairah seksual.
Hari kian mendekati senja, tapi kami terus menembus belantara. Di sebidang lahan terdapat pohon-pohon yang dilengkapi pelang bertuliskan nama penanamnya—bagian dari program penghijauan yang melibatkan turis. Di Bali Barat, tamu memang tak semata diajak menikmati alam, tapi juga turut merawatnya.
Keluar dari jalur utama, kami meniti tepian hutan bakau. Beberapa ekor rusa terlihat bersembunyi di antara belukar, sementara nyamuk-nyamuk ganas hinggap di tubuh saya. “Hutan ini aman, tidak ada predator besar,” ujar Ade saat saya sibuk menampar nyamuk. “Yang berbahaya paling ular pohon dan piton. Piton di sini bisa sebesar paha manusia.”

Kiri-kanan: Dinding vila di Plataran Resort yang dibiarkan telanjang; kamar mandi semi terbuka di vila Plataran Menjangan.
Ade bekerja untuk Plataran Menjangan, resor pendatang baru di sisi timur taman nasional. Properti yang diresmikan Mei 2016 ini menawarkan vila-vila berbentuk joglo yang dibariskan di tepi hutan bakau. Kehadirannya memberikan alasan segar bagi turis untuk kembali melawat ke utara. Merujuk Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan terbitan Institut Pertanian Bogor, arus turis ke Bali Barat memang susut ajek. Sebelum periode 2000-an, jumlah turis menembus 90.000 orang per tahun, namun selepas 2010 angkanya tak sampai separuhnya. Berkat kehadiran Plataran, Bali Barat kini memiliki magnet baru: vila baru, beach club baru, kolam renang yang menatap laut, juga tentu saja, Ade, pemandu trekking yang menyerupai kombinasi wartawan Trubus dan Profesor Hembing.
Tapi pariwisata di Bali Barat tak cuma digerakkan oleh resor. Di sekitar taman nasional terdapat enam desa penyangga yang dihuni orang-orang yang setia memutar roda pariwisata, mulai dari joki perahu hingga pemandu selam. Salah satu desa di sini bahkan memegang peran penting bagi kelangsungan satwa paling terkenal di Bali Barat.
Dari Plataran, saya meluncur ke Desa Sumberklampok di tepi taman nasional. Mobil menyusuri jalan-jalan yang lebar namun lengang. Hari ini warga Bali sedang bergairah merayakan Galungan. Akan tetapi, kontras dari daerah-daerah di selatan yang semarak oleh penjor dan upacara, Buleleng sunyi dan senyap. Mungkin benar, banyaknya kaum pendatang membuat kawasan ini lebih kalem dalam menyambut hari raya.
Sumberklampok, desa penyangga taman nasional, bermula sebagai permukiman warga pendatang asal Jawa Timur, terutama Madura. Mayoritas penduduknya sekarang berprofesi peternak dan petani palawija. Namun, sejak 2011, kampung bersahaja ini berikhtiar menggali sumur uang baru dengan menjadi desa wisata. Modal utamanya: jalak Bali.
“Sebenarnya desa wisata kecil-kecilan,” ujar Istiyarto Ismu, seorang penangkar burung. Bersama rekan-rekannya di Kelompok Manuk Jegeg, Ismu mengembangbiakkan jalak Bali, kemudian menjualnya kepada para kolektor. Dari usaha inilah muncul prakarsa mengembangkan desa wisata bagi turis yang ingin mengenal jalak Bali. “Sebenarnya kami tak paham pariwisata. Kami sekadar ingin memberi nilai tambah ekonomi bagi warga,” tambah Ismu, pria rendah hati dengan gelar master dari University of Texas at El Paso. >>