Setiap Oktober hingga November, kota kecil Churchill di Kanada diserbu ratusan imigran musiman yang kelaparan, rakus, dan tak memiliki paspor. Turis berdatangan untuk melihat mereka, sementara warga setempat hidup waspada.
Oleh Alessandro Gandolfi
Inuit menganggap Nanuk bagian dari komunitas mereka. Mungkin terdengar aneh bahwa bangsa nomaden Arktika ini menyejajarkan beruang kutub dengan manusia, tapi alasannya bisa mudah dipahami. Di Oktober yang masih menyisakan terik, saya datang ke Churchill dan menemukan sepasang beruang jantan tengah bermain, merentangkan cakar, berpelukan layaknya dua petinju yang kelelahan. Besar kemungkinan keduanya tak sedang bercanda atau bercengkerama, melainkan berlatih tanding, bagian dari persiapan pertarungan sebenarnya yang akan bergulir sepanjang musim kawin nanti.
Duduk di bus mengamati sepasang Nanuk dari jarak dekat, saya mulai memahami kenapa satwa ini, dalam persepsi suku-suku Inuit, dipandang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan manusia. Di lanskap liar ini, tidak ada satwa lain yang perangainya menyerupai manusia melebihi Nanuk.

Kiri-kanan: Dua ekor beruang kutub bermain dan bercanda di dekat bus turis; tim Departemen Manitoba Conservation mengangkut beruang kutub dengan helikopter, lalu memindahkannya ke utara, jauh dari permukiman warga.
Tentu saja, Ursus maritimus adalah predator karnivora yang rakus. Panjang tubuhnya bisa mencapai tiga meter. Bobotnya dapat menembus 800 kilogram, setara dua ekor sapi dewasa. Mereka menetap hampir permanen di atas es dengan makanan utama anjing laut. Demi bertahap hidup di lanskap beku ini, beruang kutub mesti kreatif dan cerdik, sebab anjing laut sanggup berenang jauh lebih gesit.
Solusi yang mereka ambil: bersabar. Beruang kutub setia menanti anjing laut keluar dari lubang-lubang es untuk bernapas. Siasat ini tak selalu moncer. Tingkat kesuksesannya minim: satu tangkapan untuk setiap 40-50 percobaan. Namun ketika akhirnya berhasil, sang predator akan segera menerkam mangsanya, meremukkan tengkoraknya, lalu menyantapnya dan menyimpan kandungan lemaknya sebagai bekal untuk melewati musim panas yang terik dan menyilaukan.
Angin dingin berembus tajam mematok tulang. Selama musim dingin, suhu di sini bisa susut hingga minus 40 derajat celsius. Churchill adalah tapal batas paling selatan bagi beruang-beruang putih. Tempat ini tidak berada di Kutub Utara. Churchill, desa yang berjarak dua jam penerbangan (atau dua hari dengan kereta) dari Winnipeg, bersemayam di garis lintang yang sama dengan Oslo dan Stockholm. Lokasinya di Manitoba, sisi timur Kanada, persisnya di tepi Hudson Bay yang menampung sebuah pangkalan militer dan pelabuhan yang mengapalkan berkarung-karung gandum Kanada menuju Eropa.
Di musim panas yang bergulir selama empat bulan, hamparan es di sekitar Hudson Bay akan mencair dan beruang kutub harus rela bertahan hidup dengan menyantap ganggang, bangkai hewan, serta apa saja yang bisa ditemukan kota dan desa terdekat. Semasa diet darurat ini, bobotnya berkurang 13-18 kilogram. Nanuk hanya mengonsumsi sedikit kalori sembari menanti datangnya musim gugur, momen di saat es mulai terbentuk dan jadwal perburuan anjing laut kembali dimulai.
Bongkahan es perdana biasanya muncul di Churchill antara Oktober dan November, ketika air tawar kiriman sungai membeku lebih cepat dibandingkan air laut di teluk. Siklus inilah yang membuat Churchill dan daerah sekitarnya berubah menjadi “ibu kota beruang kutub” setiap akhir musim panas. Ratusan Nanuk berkeliaran di sini sembari menunggu habitat natural mereka di belahan bumi utara membeku.
Kehadiran tamu-tamu sintal itu adalah anugerah bagi wisatawan yang ingin mengamati mereka dari jarak dekat. Tapi bagi sekitar seribu penduduk Churchill, beruang kutub sejatinya menghadirkan ancaman. Selama berbulan-bulan, warga mesti ekstra hati-hati saat berada di luar rumah. Nanuk datang dengan kepala cemas, perut keroncongan, dan hidung yang sigap mengendus aroma makanan.
Beberapa berkeliaran di jalan-jalan desa seperti gelandangan yang kelaparan, mengais-ngais keranjang sampah, kadang mengintip jendela-jendela rumah warga. Satu-satunya penghalang mereka adalah para jagawana Manitoba Conservation yang berpatroli dengan menenteng senapan.
Saya datang di momen tersebut, momen yang membuat Churchill seperti permukiman dalam film horor. Setiap orang menyimpan nomor kontak darurat jagawana di telepon genggam. Setiap orang selalu waspada, itu sebabnya mereka senantiasa membiarkan pintu mobil terbuka agar bisa lekas kabur jika berpapasan dengan beruang kutub.
Churchill tidak memberlakukan jam malam resmi, tapi hanya segelintir orang yang cukup nekat keluyuran selepas senja. Demi melindungi warga, jagawana memasang jebakan di perimeter desa. Mereka kadang menembakkan senapan kaliber rendah guna menakut-nakuti beruang—kebijakan yang terus menuai kritik dari kelompok penyayang binatang.
Di Churchill, Nanuk memang ancaman yang nyata, tapi mereka juga memutar mesin pariwisata. Tur menonton beruang imigran adalah bisnis basah yang hanya dikelola oleh segelintir biro perjalanan. Antara Oktober dan November, ribuan pelancong merangsek sudut terpencil Kanada ini demi merasakan perjumpaan yang penuh ketegangan. >>