Quantcast
Channel: Themes | DestinAsian Indonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1032

Kisah Para Pembuat Pinisi

$
0
0

Panorama pesisir Bira, tempat yang melestarikan metode tradisional pembuatan kapal kayu di Indonesia.

Bagai artefak yang menolak tenggelam, pinisi masih bertahan di lautan, masih mengantarkan barang dan orang, bahkan menjelma jadi hotel-hotel terapung yang menawarkan tamasya ke pulau-pulau yang jauh. Siapa para pembuat sekunar legendaris ini?

Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli

Apa yang bisa dibanggakan dari kapal layar di zaman ketika lautan telah dikuasai mesin dan peta dilepaskan dari tafsir? Di masa ketika angin telah patah, masihkah layar memiliki arti? Di perairan yang terserak di antara Sumbawa dan Flores, kapal-kapal kayu mewah berseliweran mengangkut turis mengandalkan mesin yang menderu. Di Sulawesi, kapal dengan tujuh layar yang menantang angin itu disebut pinisi.

Naturalis terpandang Alfred Russel Wallace pernah menaikinya dalam perjalanan dari Makassar ke Kepulauan Aru pada 1856. Dalam bukunya, dengan kagum dia menulis: “Betapa indah segala sesuatu di kapal ini—tidak ada cat, tidak ada ter, tidak ada tali baru… Yang ada justru bambu dan rotan, tali dari sabut, ilalang… Serat-serat asri tumbuhan yang mengingatkan akan suasana tenang di hutan yang hijau dan teduh.”

Bahtera itu memang disusun dari bahan-bahan alami. Terkesan udik, tapi sejarahnya dipenuhi catatan heroik. Kaum Bugis menggunakannya dalam misi-misi akbar: melayari samudra luas, melawat ke negeri-negeri yang jauh, mengangkangi laut-laut terdalam demi mencari sumber nafkah hingga ke Eropa dan Afrika. Pinisi pula alasan mengapa selama berabad-abad masyarakat di selatan Sulawesi dikenal sebagai pelaut ulung yang paling nekat, barangkali juga brutal.

“Mereka mencerminkan arketipe bajak laut dalam imajinasi Barat,” begitu antropolog Lawrence Blair menggambarkan mereka dalam Ring of Fire. “Mereka disebut-sebut sebagai navigator lautan yang paling piawai, yang dipandu oleh pola ombak dan petunjuk berupa rumput laut dan feses burung.”

 

Dari kiri ke kanan: Salah satu galangan kapal di Bira; Bangkai kapal di pesisir Bira.

Dari kiri ke kanan: Salah satu galangan kapal di Bira; Bangkai kapal di pesisir Bira.

Dengan takjub, Pius Caro juga menuliskannya dalam Ekspedisi Phinisi Nusantara: Pelayaran 69 Hari Mengarungi Samudra Pasifik. Pinisi, kata Pius, adalah perahu layar tradisional Bugis yang telah mencetak pelayaran-pelayaran bersejarah.

Semua catatan itu bagaikan pujian yang terdengar berlebihan di zaman sekarang. Sebuah zaman ketika layar tak ubahnya eksotisme dari masa silam dan mesin melambangkan kemajuan. Di manakah kini para pelaut tangkas dengan kapal-kapal layar mereka yang melegenda itu?

Dari Makassar, saya berkendara ke arah selatan. Saya melintasi jarak 150 kilometer, melewati desa-desa kecil, hingga akhirnya mendarat di Bulukumba, kabupaten di kaki Sulawesi Selatan, tempat desa-desa bertanah kering dan berbatu.

Sebuah miniatur kapal layar teronggok di tengah taman kota. Pada dindingnya tertulis “Mali’ Siparappe’,” pepatah lama Bugis dalam aksara Lontara yang berarti “hanyut sama-sama terdampar.” Tak cuma di taman. Bandara Sultan Hasanuddin dan ruang-ruang kantor pemerintahan juga memajang miniatur pinisi dengan ukuran yang lebih besar dari pajangan burung Garuda.

Seberapa pentingkah pinisi bagi tanah yang seolah menolak kehadiran sawah ini? Saya terus berkendara menuju Kampung Ara. Kondisinya lengang, karena hampir seluruh kaum prianya sedang membuat pinisi di kampung lain, sementara perempuan-perempuannya yang pintar menenun bagai menyuruk di dalam rumah. >>


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1032