Lama meredup dari peta wisata, Wakatobi bertekad mengembalikan pamornya. Kali ini, warga, termasuk mereka yang dulu merusak alam, menjadi motor utama perubahan.
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Rony Zakaria
Wakatobi adalah kisah tentang kembalinya si anak hilang, tentang mutiara yang kusam, tapi kini dipoles ulang agar kembali cemerlang. “Cita-cita saya menjadi manajer hotel,” ujar Sofia. “Manajer hotel di Wakatobi.” Angin hangat melenggang di ruang SMKN 1 Kaledupa. Cahaya mentari merembes melalui pintu yang dibiarkan terbuka. Seperti di banyak desa di Pulau Kaledupa, lampu di sekolah ini baru menyala pukul enam sore.
Sofia, gadis belia yang mengambil jurusan perhotelan, baru saja merampungkan periode magangnya. Di sebuah hotel di Kendari, dia berlatih cara membukakan pintu, menghidangkan makanan, membentangkan seprai. “Setelah lulus, saya ingin bekerja di resor Hoga Dive,” katanya lagi.
Saya sempat mampir ke resor itu. Lokasinya di Pulau Hoga. Saat saya datang, belasan bungalonya sedang kosong. Karyawannya hanya tiga orang. Tak ada tamu, mereka bersantai menonton televisi. Bukan tempat yang menjanjikan bagi Sofia untuk meniti karier. Di mana gerangan para turis kini?
Pada 2014, Wakatobi dikunjungi oleh 14.000 turis. Berhubung di sini terdapat 44 penginapan, itu artinya tiap penginapan menerima maksimum hanya satu tamu per harinya. Angka yang terlalu minim untuk memutar roda bisnis. Kenapa tak banyak pelancong yang berkenan melirik Wakatobi?
Saya datang ke Wakatobi pertama kalinya lima tahun lalu. Seperti kebanyakan turis, saya datang untuk menyelam. Hanya menyelam. Wakatobi tak menawarkan banyak hal kecuali ikan dan karang. Di sini tak ada gunung yang agung, tak ada sungai yang berliku, tak ada pematang yang mengukir lereng. “Bukan tanah berbatu, tapi batu bertanah,” begitu warga lokal menggambarkan tanah di sini yang tak sudi menyemai padi.
Tanah memang tak menjanjikan banyak harapan di Wakatobi. “Hanya singkong yang bisa tumbuh,” kata warga lainnya. Itu sebabnya nasib digantungkan pada laut, persisnya pada sektor perikanan dan pariwisata. Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, berita-berita seputar Wakatobi justru dihiasi oleh lesunya kedua sektor itu.
Hasil tangkapan susut. Arus turis seret. April 2016,saya kembali datang ke Wakatobi, bukan untukmenyelam, melainkan memotret upaya kepulauanini menyembuhkan duka dan menorehkan tawa.
Mendarat di Bandara Matahora, Pulau Wangi-Wangi, saya disambut sebuah terminal baru yang apik dan resik, jauh lebih megah dibandingkan terminal lama yang lebih mirip Puskesmas. Pemugaran terminal lazimnya ditujukan untuk merespons peningkatan penumpang, tapi tidak di Matahora. Sejak dua tahun terakhir, Wakatobi cuma dilayani dua maskapai. Wings Air terbang sekali per hari. Aviastar seminggu sekali. Dua maskapai lainnya, Susi Air dan Xpress Air, sudah lama pamit.
“Di sektor pariwisata, kendala terbesar kita adalah akses,” kata Bupati Wakatobi, Hugua (masa jabatannya habis Juni 2016). “Dari 3A rumus pariwisata, kita sudah punya dua. Kita punya attractions dan amenities, tapi access terbatas.”
Wakatobi, bagi Hugua, punya segalanya untuk menjadi magnet dunia. Payahnya sektor pariwisata murni karena kendala akses. “Saya berharap dengan adanya terminal baru, Garuda mau terbang ke sini,” katanya lagi. Telur dulu, baru ayam. Bangun dulu, nanti mereka akan datang. Agaknya itu keyakinan sang bupati ketika mengerek terminal baru. Akses, inikah jawaban bagi masalah pariwisata Wakatobi?
Saya mengenang Wakatobi sebagai tempat yang tak butuh banyak pintu untuk mendatangkan tamu. Petualang tulen pasti mencantumkannya dalam daftar tempat yang wajib diselami. Wakatobi, gugusan 43 pulau dan lima atol, termaktub dalam kawasan Segitiga Karang Dunia. Alam bawah lautnya melegenda. Di sinilah Operation Wallacea, proyek penelitian biologi transnasional, dirintis pada 1995. Sebagai destinasi selam, bintang Wakatobi bersinar lebih dulu ketimbang Raja Ampat.
Saya juga ingat, Wakatobi adalah sebuah percontohan. Inilah taman nasional pertama yang mengaplikasikan sistem zonasi. Dalam sistem ini, laut dipecah ke dalam banyak kaveling dengan peruntukan spesifik. Ada zona nelayan, zona wisata, juga zona verboten di mana ikan haram disentuh. >>